Press "Enter" to skip to content

Cermin Bernama Sahabat

HAL yang paling jauh dalam kehidupan kita adalah masa lalu. Setiap orang nyaris merasakan semua hal itu, terlepas rasanya manis atau getir. Ini yang saya rasakan dan ingat kembali ketika membaca novel terbaru karya seorang sahabat baik saya, salah seorang penulis produktif di Indonesia, Akmal Nasery Basral. Saya akrab memanggilnya, Uda Akmal.

Novel terbarunya yang berjudul “Dayon” itu berkisah tentang seorang pemuda yang meniti karier sebagai sineas muda, bersusah payah, berjuang, belajar, sampai mendapatkan karier puncaknya sebagai sineas yang sukses. Kisah ini mampu membawa kita ke dalam kehidupan perjuangan orang lain sebagai proses pembelajaran dalam hidup.

Uda Akmal, senior saya di sebuah masalah mingguan  di Jakata, tempat saya pertama kali bekerja secara profesional sebagai jurnalis. Meski kami masuk di tahun yang berbeda, tapi relasi antara senior dan junior tidak terasa sebagai jurang pemisah yang jauh, justru menjadi dekat karena relasi positif yang dibangun dalam persahabatan. Uda memanggil saya “Abang”, padahal umur saya berselisih jauh di bawah usianya. “Panggilan hormat saya,” katanya pada saya saat itu.

Saya banyak belajar dari beliau. Ia memang sosok yang sangat menghormati orang lain. Jaringan pertemananya baik sekali. Ia sangat menjaganya dan selalu senang bersilaturahmi entah lewat telpon, sms, whatsapp, atau bahkan e-mail juga termasuk bertemu langsung saat meluncurkan novelnya berjudul Te O Toriatte tahun 2019 lalu di Banda Aceh. Tak jarang ia juga memberikan motivasi dan perhatian untuk semangat berkarya terus menerus, dan belajar “mengunyah” tantangan yang ada di sepanjang perjalanan berkarya, sebagai peluang yang harus dikelola dengan baik.

Ketika larut menuntaskan bacaan Dayon di suatu malam, terdengar bunyi nada pesan Whatsapp dari gawai yang saya letakkan di meja di kamar.  Bunyi pesannya, “Assalamaualaikum Wr Wb, semoga sehat selalu. Izin masuk wilayah Banda Aceh.” Segera saya mengambil kacamata dan membaca ulang pesan tersebut. Pengirimnya Rachmat Hidayat. Sahabat baik saya asal Surabaya yang kini berkarier di Jakarta.

Hati saya tiba-tiba senang bukan kepalang. Mas Rachmad, demikian saya menyapanya adalah seorang teman baik saya ketika sama-sama berjuang masuk ke media yang sama dengan saya dan Uda Akmal.

Saya membalas pesan itu dengan beberapa jawaban dalam kalimat bercanda, memastikan ia sedang “ngerjain saya” atau sebenar-benarnya sedang berkunjung ke Banda Aceh. Saya akhirnya memilih menelpon, ketimbang melanjutkan membalas dengan pesan whatsapp. Di ujung telpon, terdengar tawa khas yang saya ingat ketika pertama kali bertemu 23 tahun yang lalu di Jakarta. Saya pun memutuskan menjemputnya ke hotel tempat ia menginap keesokan harinya.

Kisah yang dituturkan Uda Akmal melalui “Dayon” dan relasi kami yang sampai saat ini sangat baik, mengingatkan saya pada kisah perjuangan saya pribadi 23 tahun yang lalu bersama Mas Racmat, ketika berjibaku mengikuti seluruh rangkaian tes masuk sebagai calon reporter di media yang sama.

Sebagai anak daerah yang datang berjuang, mencoba keberuntungan, merasa senasib, membuat kami cepat saling mengenal, dan akrab satu sama lainnya. Di tempat kami sama-sama bekerja itu pula berlangsung episode hidup yang panjang meniti hidup dengan takdir-takdir yang tak terduga.

“Kita harus tetap memilih menjadi baik, meski di luar sana orang memilih sebaliknya,” begitu kata Mas Rachmad pada saya di sela-sela workshop kami sebagai carep (calon reporter) saat itu.

Sadar atau tidak, persahabatan yang baik, membawa kita belajar banyak tentang kesabaran, ketulusan, kekuatan dan saling dukung dalam banyak hal. Dalam ruang panjang tersebut, kita semua bisa menavigasi kebaikan dalam banyak hal yang dipandu oleh seperangkat nilai yang dicerminkan oleh tindakan-tindakan kita.

Dalam menjaganya, kita juga harus mampu mengartikulasikan nilai-nilai yang dewasa dan genuine, apa adanya dan tidak dibuat-buat, sehingga orang lain tahu apa yang diharapkan. Yang penting, niat baik dijalankan. Mengapa? karena dalam membangun relasi yang juga tidak boleh dilupakan adalah menghargai sebuah komitmen dan hak-hak penghargaan yang baik atas capaian orang lain di luar diri kita.

Kita tahu bahwa kesuksesan di sepanjang perjalanan bekerja tidaklah murni terbangun ats kemampuan kita sendiri. Bisa jadi, di tempat kita membangun karier, kita bertemu “komponen” lain yang membuat kita merasa ada semangat dan dukungan dalam bekerja, seperti sahabat, relasi dan pemimpin yang “sehat” yang memberikan dampak kesehatan jiwa dalam bekerja.

Setiap kita membutuhkan orang untuk memperhatikan pertumbuhan dan pencapaian kita plus membangun nilai-nilai yang baik sebagai sebuah bagian dari pengembangan kapasitas, salah satunya adalah dari sahabat.

Bersahabat baik berpuluh tahun lamanya, tentu bukan perkara mudah. Menjaga nama baiknya adalah salah satu hadiah yang mahal yang harus kita berikan. Beberapa orang mungkin berjuang untuk memuji pencapaian sahabatnya, terus menerus, tanpa jeda, tapi lupa menjaga nama baiknya. Mengetahui bagaimana dan kapan harus mendengar juga sangat penting, dibandingkan harus menjadi pembicara yang budiman. Kapan harus menahan diri—adalah salah satu cara penting untuk memajukan karier Anda menjaga sahabat. Di tengah arus deras kebanyakan orang berpikir mereka tahu apa yang mereka kuasai, tapi tetap saja, mereka butuh cermin besar untuk terus bisa mengoreksi diri. Cermin itu bernama sahabat.

(Kolom ini telah terbit dalam media online readers.id)