Press "Enter" to skip to content

Dari Aceh Untuk Dunia

Universitas Syiah Kuala berhasil membangun pusat riset mitigasi tsunami dan bencana. Dirintis dan dipimpin oleh dua doktor yang terpacu oleh semangat para syuhada. Menghimpun para periset lokal dan mancanegara. Dari lantai III gedung Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC), langit Ulee Lheue, Aceh, sore itu terlihat cerah keemasan. Tabir cakrawala dihiasi sepancaran pelangi. Senada dengan warna gedung milik Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) itu, yang berbalut hijau, kuning emas, dan putih. Warna-warna yang melambangkan kejayaan dan cita-cita untuk berbagi ilmu, pengetahuan, dan pengalaman.

Namun, pemandangan di samping gedung menyisakan rasa perih yang dalam. Itulah tempat peristirahatan terakhir para syuhada korban tsunami. Perkuburan massal itu kira-kira berjarak 200 meter dari Masjid Baiturrahim, Ulee Lheu, Nanggroe Aceh Darrussalam. Masjid menjadi simbol keagungan, satu-satunya bangunan yang selamat ketika gelombang pasang tsunami menghantam kawasan itu, enam tahun silam.

“Areal perkuburan para syuhada gempa dan tsunami yang berada di sebelah kantor kami memacu kami bekerja keras untuk membuat Aceh siaga bencana,” ujar Dirhamsyah. “Dari Aceh untuk dunia, itulah cita-cita kami dalam membangun lembaga riset ini,” M. Ridha menambahkan. Dirhamsyah dan M. Ridha adalah Direktur dan Wakil Direktur TDMRC Unsyiah. Kedua doktor lulusan University Kebangsaan Malaysia dan Tokyo Institut of Technology, Jepang, itulah yang kini bahu-membahu menghidupkan TDMRC.

Dirham adalah pakar tentang noise and vibration (kebisingan dan getaran), sedangkan Ridha merupakan pakar corrosion (korosi). Mereka sebenarnya tak memiliki latar belakang ilmu kebencanaan. “Namun karena banyaknya dorongan dan motivasi dari teman-teman nasional dan internasional, kami pun bertekad membantu Aceh, karena ini tanah kami,” ujar Dirham. Mereka berupaya mengumpulkan peneliti-peneliti andal dari berbagai disiplin ilmu, baik di dalam dan luar negeri, untuk melakukan riset-riset multidisiplin guna mengurangi dampak risiko bencana.

Tentu saja perjalanan mereka tidak semudah membalik telapak tangan. Awalnya, Dirham dan Ridha aktif mengikuti berbagai workshop nasional dan internasional, pasca-bencana tsunami di Aceh pada 2004. Tak jarang mereka harus merogoh kocek sendiri. Tujuannya agar negara-negara di dunia tahu bahwa Aceh perlu mitigasi bencana. Karena saat itu belum memiliki kantor tetap, mereka pun bekerja layaknya backpacker.

Jika ada pertemuan-pertemuan yang diadakan, biasanya Dirham dan Ridha menerima tamu mereka di Laboratorium Rekayasa Material, Fakultas Teknik Mesin. Maklum, saat itu Dirhamsyah menjabat sebagai Ketua Jurusan, sedangkan Ridha menjadi Ketua Laboratorium Rekayasa Material di Jurusan Teknik Mesin, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

“Dari pertemuan-pertemuan tersebut, kami melihat potensi yang sangat besar untuk segera membentuk pusat riset dan mitigasi bencana,” ujar Dirham. “Ini tanggung jawab moral kepada syuhada-syuhada yang telah hilang saat gempa dan tsunami,” ia menambahkan. Dirham mengaku kehilangan anak bungsu dan ibu kandung saat gempa dan tsunami melanda Aceh, hampir enam tahun lalu.

***

Sebelum TDMRC Unsyiah terbentuk, sebagai aksi tanggap terhadap bencana gempa bumi dan tsunami, Universitas Syiah Kuala membentuk UAR (Unsyiah for Aceh Reconstruction –Aksi Sumbangsih Unsyiah untuk Rekonstruksi Aceh). Lembaga tersebut menjembatani koordinasi kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi antara pemerintah dan masyarakat dalam mendesain rencana dasar (blueprint) rekonstruksi dan rehabilitasi pasca-bencana gempa bumi dan tsunami.

Setelah itu, Unsyiah membentuk TRC (Tsunami Research Center –Lembaga Penelitian Riset Tsunami) yang di pimpin Prof. Dr. Syamsul Rizal. Pada saat yang bersamaan, Unsyiah juga mendirikan MC (Mitigation Center –Pusat Informasi Mitigasi), yang diilhami dari kunjungan Mantan Rektor Unsyiah, Prof. Dr. Abdi A. Wahab, ke Kobe University, Jepang.

Pada 2006, Unsyiah menggabungkan keduanya ke dalam sebuah lembaga riset baru yang terintegrasi, yakni TDMRC (Tsunami and Disaster Mitigation Research Center). Sebanyak 126 akademisi dan pakar Unsyiah beraktivitas di dalamnya, sehingga lembaga anyar itu dapat mendukung proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Belakangan, TDMRC menjadi pusat manajemen bencana yang berpengaruh, baik di level nasional maupun internasional.

TDMRC terus mempersiapkan diri agar dapat melaksanakan program-program penguatan masyarakat dalam kaitannya dengan pengurangan risiko bencana. Misalnya, Program Sekolah Siaga Bencana (SSB), bekerja sama dengan LIPI-UNESCO. Kegiatan pokoknya adalah membangun kapasitas sekolah melalui penguatan pengetahuan dan sikap, kebijakan sekolah, rencana tanggap darurat, sistem peringatan dini sekolah, dan mobilisasi sumber daya berdasarkan kapasitas sekolah yang telah ada, khususnya dalam mengantisipasi risiko bencana alam, termasuk gempa bumi dan tsunami.

Dr. Khairuddin, Ketua Divisi Advokasi, Pendidikan, dan Pelatihan TDMRC, yang mengelola kegiatan SSB, mengungkapkan bahwa tujuan kegiatan tersebut adalah untuk memberikan pemahaman, partisipasi, serta membangun komitmen masyarakat sekolah untuk merintis model sekolah siaga bencana. Baik di tingkat sekolah dasar, menengah pertama, dan menengah atas. “Ke depan, kesiapsiagaan bencana berbasis ilmu pengetahuan yang dibangun melalui sekolah model ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi lembaga pendidikan lainnya,” Khairuddin memaparkan.

TDMRC memiliki seratus relawan lebih, yang dibina sejak 2006. Tim relawan ini digerakkan oleh Divisi Advokasi, Pendidikan, dan Pelatihan untuk mendukung terbinanya masyarakat yang siaga bencana di Aceh. Ini merupakan keunikan tersendiri, yang mungkin tidak ditemui di lembaga lain.

Di samping itu, berkumpulnya peneliti multidisiplin di lembaga tersebut menghasilkan penelitian yang beragam. Setelah diseminarkan dalam berbagai forum kebencanaan pada tingkat nasional dan internasional, hasil penelitian lalu disosialisasikan kepada masyarakat.

Dalam skala internasional, TDMRC menjalin kemitraan dengan lembaga-lembaga riset kebencanaan yang ada di Jepang, Jerman, Australia, Amerika Serikat, Kanada, Sri Lanka, India, Swedia, Thailand, Kepulauan Maladewa, dan Selandia Baru. Sebagai contoh, TDMRC menggandeng Nagoya University untuk mengkaji perubahan sosial ekonomi masyarakat dan masalah-masalah yang dihadapi dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. Penelitian yang dimulai sejak 2007 itu dievaluasi setiap tahun. Menurut Ketua Divisi Riset Terapan (Applied Research) Agus Sabti, kerja sama tidak hanya terbatas pada survei lapangan, melainkan juga pada pemanfaatan bersama data survei untuk kepentingan ilmiah.

TDMRC Unsyiah juga membangun Divisi Knowledge Management (KnoM) di bawah koordinasi Dr. Khairul Munadi. Divisi ini terlibat dalam perencanaan dan pengelolaan teknologi dan sistem informasi kebencanaan yang dikembangkan dan digunakan TDMRC. Salah satu kegiatan utamanya adalah pembuatan, penyimpanan, dan distribusi material yang terkait dengan tsunami dan upaya pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction).

Untuk menampung berbagai informasi dan data digital terkait dengan bencana tsunami dan proses rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab/rekons) Aceh, Divisi KnoM diberi tanggung jawab mewujudkan aplikasi Aceh Tsunami Digital Repository (ATDR) dengan dukungan dana dari Hyogo Prefecture, Jepang. ATDR merupakan aplikasi repositori digital berbasis web, berisikan dokumentasi elektronik terkait dengan tsunami, proses rehab/rekons dan kebencanaan di Aceh. Web ATDR sudah dapat diakses secara online melalui situs http://atdr.tdmrc.org.

Divisi KnoM juga sedang membangun sebuah sistem informasi manajemen risiko bencana, yang disebut Disaster Risk Management Information System (DRMIS). DRMIS merupakan sistem informasi risiko bencana yang akurat, berbasis GIS dan remote sensing. Sistem ini akan menvisualisasi ancaman (hazard), kerentanan (vulnerability), dan risiko (risk) dari bencana alam, yang menjadi alat pendukung dalam upaya pengurangan risiko bencana. Beberapa basis data dan sistem informasi itu bakal dikembangkan dalam payung pusat informasi bencana Aceh (PIBA).

***

Keberadaan TDMRC Unsyiah di garda depan penelitian dan riset tsunami serta mitigasi bencana di Aceh diakui oleh Pemerintah Aceh. Seperti diungkapkan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Aceh, Husni Bahri, selaku Provincial Project Director untuk proyek Pengurangan Risiko Bencana Aceh (DRR-A Project). Menurutnya, TDMRC yang didukung oleh proyek UNDP DRR-A layak menjadi think tank Pemerintah Aceh dalam mitigasi bencana tsunami. “Sebagai lembaga terdepan dalam mitigasi bencana, TDMRC perlu memetakan berbagai kebutuhan dasar bagi Pemerintah Aceh dalam merancang kegiatan-kegiatan pembangunan berbasis pengurangan risiko bencana,” ujar Husni.

Penanganan mitigasi bencana di Aceh bisa menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia, bahkan dunia. Sebab, intensitas bencana alam di seluruh belahan bumi semakin meningkat. Hal ini tidak saja mengakibatkan kerugian materi, namun juga dampak buruk lainnya. “Antisipasinya tidak cukup hanya dengan membuat kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan terkait pengurangan risiko bencana,” kata Dirhamsyah.

Seperti di Aceh, kata Ridha, diperlukan usaha yang sangat berat serta waktu yang panjang dalam mewujudkan Aceh sadar dan tahan terhadap bencana. “Lembaga seperti TDMRC dapat membantu daerah dan kabupaten dalam mensinergikan dan memobilitas sumber daya serta potensi yang dimiliki untuk mencapai tujuan,” ujarnya