Press "Enter" to skip to content

Dari Mantan Pejuang GAM Menjadi Aktivis Lingkungan

Beberapa mantan pejuang GAM direkrut menjadi penjaga hutan. Ulu Masen diakui dunia sebagai hutan penyerap karbon. Bisa menghasilkan US$ 26 juta dalam konteks perdagangan karbon.

Sebuah papan besar dan panjang berisi ajakan menjaga hutan terpampang jelas. “Rakyat makmue beusare”, begitu tulisan di papan tersebut. Hutan kita jaga, maka rakyat makmur bersama, demikian kira-kira terjemahan lepas dari bahasa Aceh ke Indonesia. Papan yang terletak di pinggir hutan Ulu Masen itu menandai sebuah stigma baru yang beredar di masyarakat Aceh pada saat ini.

Ke Ulu Masen itulah Saya melakukan perjalanan, Senin pertama Maret lalu. Dan udara pagi yang segar menandai perjalanan menembus hutan yang dimulai dari Desa Raya. Gemericik suara arus air di sungai yang terdengar dari kejauhan seakan memanggil untuk melakukan penjelajahan lebih dalam.

Kamarullah menjadi penunjuk jalan. Petugas jagawana (penjaga hutan) itu kerap disapa Bang Cek. Lelaki berusia 33 tahun itu adalah mantan anggota pasukan GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Ia direkrut bersama 10 penjaga hutan lainnya yang sudah terlatih dan terbiasa mengikuti aktivitas di hutan. Sebelumnya, mereka berprofesi sebagai pawang harimau dan pawang hutan, kemudian direkrut menjadi pasukan elite yang dinamakan Tim Rangers atau pasukan penjaga hutan Ulu Masen.

Sebagai penjaga hutan, Tim Rangers harus berpatroli saban hari untuk menjaga hutan dari penebang liar dan pemburu gelap. Berbekal kemampuan hidup di tengah hutan selama menjadi anggota GAM, tim itu tidak mengalami kesulitan menjelajahi hutan, terkadang hingga berhari-hari.

Meski dianggap ahli, ternyata mereka butuh keterampilan tambahan. Karena itu, sebelum bertugas sebagai penjaga hutan, mereka dilatih selama 10 hari di pusat pelatihan kawasan Jantho, Aceh Besar. Seperti pencinta alam, Tim Rangers dilatih menggunakan kompas, GPS, dan membaca peta hutan.

***

Untuk menunjang kemampuan menjaga hutan, para jagawana itu dibekali teknik monitoring dan investigasi, survival, SAR, tali-temali, dan P3K. Tak ketinggalan, pemahaman tentang konflik satwa dan mitigasi bencana di hutan juga diajarkan. “Menyelamatkan hutan dari berbagai kerusakan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pekerjaan ini saya lakukan dengan senang hati dan ikhlas,” ujar Bang Cek.

Pembekalan tentang pengetahuan lingkungan menjadi tugas tim dari Fauna dan Flora Internasional-Aceh (FFI-Aceh), salah satu kelompok pencinta lingkungan hidup internasional tertua di Aceh. Menurut Manajer Komunikasi FFI-Aceh, Dewa Gumay, pada periode pertama, “pasukan” Blang Raweu dibentuk di Mane, Kabupaten Pidie.

Pada tahap kedua dan ketiga, lahir pasukan Purba Rangers di Aceh Jaya dan Pante Ceureumen Rangers di Aceh Barat. Mereka kini bergabung dengan barisan Pam-Hut (Pengamanan Hutan), yang berjumlah 2.300 orang, dan sebagian dari mereka berasal dari eks-kombatan GAM yang diberdayakan untuk melestarikan hutan.

Maklum, pasca-perjanjian damai Pemerintah RI dengan GAM, para mantan anggota GAM masih banyak yang terpinggirkan. Sebagian besar masih menjadi pengangguran selama lima tahun lebih. Banyak pula mantan separatis itu kembali ke dalam hutan, lalu hidup dari menebang pohon secara liar.

Sebuah program pemerintah yang disebut “Aceh Green” berusaha merangkul dan memberdayakan mereka sebagai bagian dari pengelolaan hutan di Aceh. Tujuannya, mengintegrasikan mantan anggota separatis itu ke dalam masyarakat dan menciptakan lapangan kerja bagi mereka. Sekaligus memastikan bahwa sumber daya alam di Aceh tetap lestari.

Upacara wisuda dilakukan di tepi sungai pinggir hutan Ulu Masen, Februari lalu. Dikelilingi obor, mereka menerima ijazah sembari berlinang air mata. Mirip pembaptisan. Mereka lalu diberi seragam yang bersih untuk memulai hidup baru. “Banyak dari mereka yang menangis,” kata Matius Linkie, Manajer Program FFI-Aceh.

Orang-orang itu pun mengubah pola hidupnya dari orang buruan menjadi pahlawan. “Mereka menjadi mata dan telinga kita. Mereka membantu kita untuk tahu apa yang terjadi di wilayah terpencil dari hutan hingga tempat yang sangat sulit dijangkau,” Linkie menambahkan.

***

Bukan tanpa alasan jika program Aceh Green difokuskan pada hutan Ulu Masen. Hutan seluas 750.000 hektare itu memiliki keanekaragaman hayati sangat penting bagi fungsi-fungsi ekologis, juga sangat bermanfaat bagi manusia di sekitarnya. Hutan yang terletak di bagian utara Aceh itu menjadi satu-satunya kawasan penyedia jasa lingkungan di Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie, Pidie Jaya dan Aceh Besar, serta Bieruen.

Sekitar dua juta penduduk Aceh sangat menggantungkan hidup pada keberadaan hutan Ulu Masen. Pasokan air bersih, pertanian, perkebunan, irigasi, bahkan untuk menggerakkan turbin listrik tenaga air serta meminimalkan dampak bencana banjir dan longsor.

Nama Ulu Masen diambil dari nama gunung yang terletak di Kecamatan Sampoinit, Kabupaten Aceh Jaya, yang berjarak lebih kurang 25 kilometer dari Gampong (baca: kampong) Masen, desa terakhir di kecamatan tersebut, yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Hutan ini terletak di lima kabupaten, yakni Aceh Jaya seluas 266.573 hektare (36% dari total luas), Pidie dan Pidie Jaya seluas 264.283 hektare (hampir 36%), Aceh Barat dengan luas 113.012 hektare (15%), dan Aceh Besar seluas 94,989 hektare (13%).

Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Irwandi Yusuf, sempat membeberkan fakta di depan Forum Bersama (Forbes) Anggota DPR/DPD-RI asal Aceh pada 7 Maret lalu. Menurut Irwandi, sekitar 80% hutan Sumatera ada di wilayah Aceh. Meski moratorium penebangan kayu yang dicanangkan sejak Juni 2007 berhasil penyelamatkan sebagian hutan dari kerusakan, ternyata masih terjadi aksi-aksi pencurian kayu di hutan Aceh yang didanai para cukong kayu. “Di sisi lain, kondisi ekonomi masyarakat yang masih miskin membuat kasus illegal logging sulit diberantas,” ungkap Irwandi.

Kini para cukong kayu itu mulai gerah dan panik. Mereka sengaja menyebarkan provokasi agar masyarakat menolak kebijakan moratorium logging itu. Dikatakan, akibat moratorium tersebut, harga kayu melambung dan rakyat sulit mendapat kayu untuk membangun rumah, bahkan untuk peti mati. Padahal, menurut Irwandi, kebijakan moratorium itu dilakukan untuk menata kembali fungsi hutan yang seharusnya menjadi faktor keseimbangan alam dan iklim.

Guna menjegal niat cukong-cukong kayu membabat hutan Aceh secara ilegal, program Aceh Green pun merekrut eks anggota GAM untuk menjaga hutan. Kini Aceh Green menjadi semacam doktrin baru. Kamarullah, misalnya, dari seorang mantan pejuang pemberontak dan pembabat kayu secara liar, kini mengukuhkan diri menjadi aktivis lingkungan. “Aku tidak pernah tahu bagaimana menggunakan hutan secara bijaksana, tetapi aku akan selalu melindunginya mulai saat ini, bahkan jika aku tidak lagi menjadi ranger,” ujarnya.

***
Berdagang Karbon Ala Aceh Green

Konsep moratorium logging dan Aceh Green dilontarkan Irwandi Yusuf selaku Gubernur NAD pada forum Konferensi Perubahan Iklim yang digelar PBB di Bali pada 2008. Mantan pimpinan separatis GAM dan dokter hewan terlatih di Amerika serta pendiri Fauna dan Flora Internasional Cabang Aceh (FFI-Aceh) itu berniat menjadikan Aceh sebagai model pengelolaan lingkungan hidup secara berkelanjutan.

Dewa Gumay, Manajer Komunikasi FFI-Aceh, mengungkapkan bahwa hutan Aceh telah mendapat pengakuan internasional melalui dua konsep pengelolaan hutan tersebut. Pada Februari 2008, Ulu Masen menjadi hutan pertama yang dilindungi secara internasional di bawah PBB dalam program yang disebut REDD, untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang.

Sistem itu memungkinkan negara-negara kaya mengimbangi karbon yang mereka keluarkan, dengan membayar negara-negara miskin yang melestarikan hutan mereka. Proyek Aceh Green diperkirakan bernilai US$ 26 juta dalam kredit karbon jika berhasil melindungi sekitar 1,9 juta hektare hutan di Ulu Masen. Kini 50 kepala keluarga (KK) yang bermukim di dekat hutan mendapat hibah hak kepemilikan tanah dari Pemerintah Aceh. Setiap KK diproyeksikan mendapat areal seluas 4 hektare dari total 250.000 hektare lahan hutan yang direformasi (land reform) pada tahun lalu.

Rencananya, program Aceh Green itu didanai dari anggaran pendapatan dan belanja daerah, selain sokongan dari hasil perdagangan karbon melalui mekanisme clean development mechanism. “Dengan begitu, peluang untuk menciptakan lapangan kerja sekaligus menghijaukan hutan yang rusak semakin besar,” Irwandi mengungkapkan.

Secara teknis, konsep Aceh Green akan diarahkan untuk merehabilitasi satu juta hektare hutan yang terdegradasi. Lahan itu bakal dikembangkan menjadi kawasan hutan tanaman rakyat (HTR). Hasil dari kawasan HTR ini akan dijual untuk memenuhi kebutuhan hutan tanaman industri. “Langkah tersebut merupakan bagian dari pemberdayaan hutan melalui konsep Aceh Green Vision,” ujar Irwandi.

Namun beberapa pihak mengkritik. Walaupun Aceh Green adalah ide yang baik, provinsi itu tidak memiliki infrastruktur secara utuh untuk membuat program tersebut bekerja secara efektif. Arifsyah Nasution, Koordinator Kuala –organisasi yang mewakili 25 LSM di Aceh– menilai bahwa Aceh Green kurang berjalan lantaran keterbatasan wewenang pemerintah daerah.

Lebih dari 30 tahun, konflik dan bencana tsunami membuat Aceh compang-camping. “Tim Aceh Green bekerja sendiri,” kata Arifsyah. Sebab sangat sedikit koordinasi atau pengertian di antara sektor-sektor lain pemerintah. Begitu juga, banyak peraturan yang bertentangan, yang berasal dari berbagai tingkat pemerintahan.

Apalagi, menurut Arifsyah, Aceh Green lebih menekankan konsep inti plasma yang terbukti gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat ketika diterapkan dalam skala nasional. “Malah aset yang dimiliki masyarakat tergadai oleh investor,” ujarnya.

Dari pengalaman selama ini, umumnya perusahaan yang bergerak dengan konsep inti plasma tidak memiliki cukup modal. Justru perusahaan itu menggunakan aset yang dimiliki masyarakat sebagai jaminan untuk memulai kegiatan perkebunan. “Masyarakat harus menanggung risiko jika perusahaan itu mengalami kerugian,” kata Arifsyah.

Konsep Aceh Green Vision yang dicanangkan Pemerintah NAD, menurut Arifsyah, harus disosialisasikan dan dipahamai seluruh masyarakat. Tujuannya, agar publik diberi ruang untuk mengutarakan pendapat sebelum seluruh program dilaksanakan. “Ini dapat dilakukan dengan cara diskusi yang mengikutsertakan seluruh pihak yang terlibat di dalamnya, sehingga konsep ini benar-benar didasari visi yang sama,” katanya.