WAJAHNYA menyiratkan semangat tidak kenal lelah. Gerak-geriknya terlihat gesit, membuat mata saya terbuai mengikuti setiap gerak langkahnya, ke kiri dan ke kanan. Pak Tami, sosok berusia 45 tahun, akrab dipanggil Pak Tam. Awalnya saya menyapanya Abang, karena merasa lebih muda dari usianya. Tapi lama-lama saya ikut memanggil Pak Tam, karena anak-anak kecil di masjid memanggilnya begitu.
Saya sudah mengenal Pak Tam sepuluh tahun lebih. Sejak 2010. Ketika saya menjadi panitia Hari Raya Idul Adha di lingkungan masjid tempat saya tinggal. Saya diamanahkan menjadi tenaga pengantar daging kurban kepada para masyarakat yang menjadi kelompok penerima. Sejak Idul Adha 2010 itu pula saya mulai mengenal sosok bersahaja dan ulet ini.
Ia seorang guru, aktif di masjid dan juga penyayang anak-anak. Melihat sebagian besar anak-anak yang hadir di masjid bersama orang tua mereka dan tidak ikut dalam barisan salat berjamaah, menggugah Pak Tam untuk berinovasi dalam beramal. Gerakan inovasi amal tersebut yang membuat Pak Tam dikenal di kalangan anak-anak di kampung saya.
“Pak Tam…..Pak Tam, kami belum salat,” begitu teriakan anak-anak dengan riang.
Wajah polos mereka terlihat bersuka cita melihat Pak Tam, suatu hari saat selesai salat Ashar. Tak jarang Pak Tam dikelilingi mereka sambil duduk. Sosok itu seperti menjadi bintang sepak bola yang ditunggu penggemarnya. Sebabnya sangat sederhana. Ternyata setelah salat berjamaah, Pak Tam mendekat ke barisan anak-anak yang biasa berada di shaf belakang.
“Siapa yang tadi salatnya masih kurang rakaatnya tapi sudah salam?” tanya Pak Tam lembut.
Semua anak menunjuk tangan, bahkan yang sudah salat pun menunjuk tangan. Di antara mereka bersuara.“Tadi saya ketawa, Pak Tam,” sela seorang anak diikuti sahutan tertawa anak-anak lain.
Pak Tam tampak tersenyum sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. Anak-anak langsung diam tanpa berteriak, melihat gerakan tangan Pak Tam. Kode itu seperti sebuah tindakan yang disepakati. Tidak boleh ribut di dalam masjid, bicaralah lembut dan dekatilah orang yang jika ingin diajak bicara, agar suara kita tidak mengganggu orang yang sedang ibadah wajib dan sunah. Begitu Pak Tam menjelaskan arti kode itu. Pola komunikasi yang lembut dan tidak berlebihan. Sangat persuasif.
Saya senyum-senyum sendiri. Ini adalah pemandangan yang nyaris jarang saya temui. Tapi rezeki dari Allah, saya melihat itu sepanjang salat berjamaah di masjid, terutama saat salat Subuh dan Ashar. Apa yang dilakukan Pak Tam adalah sebuah inovasi pribadi. Tanggungjawab setiap muslim dengan cara baik yang mereka punya dan pikirkan, kata Pak Tam suatu sore pada saya.
Walaupun mereka hadir bersama orang tua mereka, dengan tujuan salat berjamaah, namun sebagian anak-anak hilang konsentrasi ketika bertemu dan berinteraksi dengan teman-teman sebayanya.
Biasanya sebagian besar terpengaruh untuk bercanda dan berkelakar ala anak-anak. Kadang tertawaan mereka memancing orang lain marah. Namun, mereka juga sedang belajar ibadah dengan benar. Minta diperhatikan. “Minta diorangkan,” kata Pak Tam.
Kehadiran Pak Tam di tengah-tengah jamaah masjid, menjadi pesona tersendiri bagi anak-anak. Pak Tam yang bersedia dengan senang hati tanpa mengeluh, kembali mengimami salat anak-anak tersebut, agar mereka bisa ikut salat berjamaah juga.
Itu yang membuat anak-anak lengket dengan Pak Tam. Kadang jika istri Pak Tam ikut salat ke masjid, tak jarang Pak Tam dan istrinya Bu Dini, menyiapkan permen ala kadarnya sebagai apresiasi untuk anak-anak yang mau salat berjamaah dengan tertib dan selesai.
Melihat tindak-tanduk Pak Tam, saya merasa bahagia sekali. Meski tidak bisa seperti beliau, saya merasa bangga melihat aksi positifnya. Sosok yang sangat peduli pada anak-anak yang tumbuh dalam arus pengaruh kemajuan teknologi yang tinggi.
Di tengah arus deras pengaruh game, judi online, serta dampak narkoba plus pergaulan bebas yang sering dibicarakan sebagai topik-topik hangat diskusi, webinar, workshop dan FGD, karena ketidakbermanfaatan serta pengaruh buruknya, namun sosok muda ini memilih jalan kebermanfaatan yang lain.
Ia berusaha semampunya setiap hari membantu anak-anak di sekitarnya agar tidak manjadi korban dari pengaruh jelak penggunaan teknologi yang tidak terkontrol, melalui kegiatan membersama mereka salat berjamaah dan mendengarkan suara mereka.
Pekerjaan mulia yang dilakukan Pak Tam adalah sebuak aksi nyata yang mungkin tidak terlihat dan tersentuh oleh orang banyak. Namun bagi Pak Tam dan Ibu Dini, melakukan aksi ini justru membuat mereka juga sekaligus belajar, bahwa membersamai anak-anak adalah pekerjaan yang mulia dan bernilai baik, bila terus dilakukan dengan senang hati dan tanpa merasa terganggu.
“Kalau kita tidak terganggu pada anggapan dan komentar orang lain, dan terus fokus membersama mereka, Insya Allah mereka bisa selamat dan minimal ingat apa yang kita sampaikan disaat seperti itu,” kata Pak Tam.
Melihat gerakan mulia sosok muda yang memiliki tiga anak itu, membuat saya merasa masih banyak yang bisa diperjuangkan di dunia ini dengan baik. Pak Tam adalah salah satu penyemangat itu.
“Tidak perlu terlalu pusing memikirkan komentar orang lain ketika berbuat baik dan berkarya dengan nilai kebermanfaatan tinggi buat orang lain. Lakukan saja dengan sabar. Kalau banyak yang tidak mendukung, fokus saja pada orang yang mendukung kita,” katanya dengan rendah hati dan suara yang sangat santun tanpa menggurui.
Mendengar nasehat lembut dan semangat Pak Tam, saya seperti menjelma pengembara di tengah oase yang luas, mendapatkan air yang sejuk di tengah panasnya gurun pasir.
Tabungan Kurban
Gebrakan Pak Tam, tak berhenti sampai soal salat jamaah. Anak-anak yang datang ke masjid juga diajarkan agar bisa belajar menyimpan uang untuk bisa berkurban setiap tahun. Berkurban saat Iduladha juga menjadi salah satu contoh baik yang ia sampaikan secara nyata kepada anak-anak.
Pak Tam bersama Ibu Dini menyemangati anak-anak tersebut untuk menyimpan uang saku mereka melalui orang tua. Pak Tam bersama istrinya ingin mengajarkan mereka makna berkurban dan menolong sesama yang membutuhkan.
Selepas perayaan Iduladha setiap tahunnya, biasanya Pak Tam, Ibu Dini dan ke-33 orang tua anak-anak tersebut berkumpul, lalu membagikan buku kecil semacam catatan tabungan. Anak-anak biasa menyimpan uang sakunya setiap bulan sampai dengan Rp 228 ribu. Setiap hari mereka mengumpulkan semau mereka, sampai sebulan mencapai 228 ribu. Setiap tahun anak-anak tersebut rata-rata menabung Rp1,5 juta, bahkan ada yang lebih.
“Meski baru kelas 6 SD dan ada yang SMP kelas 1 Alhamdulillah mereka bisa berkurban kambing 1/orang setiap tahunnya,” kata Pak Tam dengan menahan air mata haru.
Momen Iduladha 1442 H yang baru saja kita lewati menjadi momen penting bagi beliau dan anak didiknya di masjid.
“Alhamdulillah, anak-anak ini setiap tahun masih bisa berkurban kambing. Bahkan ada yang sudah mulai ikut 1/7 sapi saat berkurban,” kata Pak Tam lagi.
Saya melihat semangat itu tidak hilang dari mereka, meski kondisi sedang sulit. Kisah perjuangannya membuat saya penasaran dan belajar dari apa yang dia lakukan. Karakter yang tidak hilang meski cobaan sedang menerpa.
“Saya tidak menganggap pekerjaan sederhana seperti ini menjadi pekerjaan sampingan, namun sejatinya inilah karier akhirat di dunia ini,” kata Pak Tam menyemangati.
Pandemi saat ini telah membuat banyak orang bertanya-tanya tentang perubahan kariernya. Di masa-masa sulit ini, peristiwa atau guncangan yang tidak terduga mengganggu rutinitas kebiasaan banyak orang.
Namun tidak sedikit pula menyentak untuk keluar dari zona nyaman dan menuntun kita untuk mengajukan pertanyaan besar tentang apa yang penting dan apa yang layak dilakukan dalam melanjutkan misi dan visi dalam hidup ini.
Maka tidak mengherankan jika selama pandemi ini, kita melihat sebagian orang dengan mudah menyerah dan banyak juga yang membanting setir untuk tetap bertahan dan terus melanjutkan perjuangan dengan berinovasi.
Yang dilakukan Pak Tam, selain inovasi dunia sekaligus memiliki value yang besar tentang investasi akhirat. Mencintai anak-anak dan dunianya yang tidak hanya dengan pendidikan formal, namun juga dengan mengandalkan naluri dan kasih sayang, membersamai keseharian mereka dalam ibadah lima waktu dan belajar ibadah berkurban.
Pak Tam adalah contoh baik, berbuat dan terus berusaha bermanfaat. Ia bergerak karena ingin mengubah kondisi anak-anak tersebut menjadi insan yang baik, dengan niat yang murni, ingin berperan walaupun sedikit.
“Mereka penerus bangsa ini, mereka layak kita perjuangkan,” katanya mengakhiri obrolan kami di senja sore yang ramah.
Kisah Pak Tam adalah kisah mengugah untuk saya pribadi. Berjuang dan terus bermanfaat bagi banyak hal. Tak berhenti pada Pak Tam, saya terus berusaha belajar banyak hal dari orang lain yang saya kenal. Memasang prinsip, tak banyak bicara dan mengandalkan kemampuan mendengar.
Pat Tam Lainnya
Pelan-pelan saya bertemu sosok istimewa yang lain. Sosok Pak Tam dalam versi lain itu saya temui dalam keseharian aktivitas saya. Ia bernama Bayu Satria. Anak muda 20 tahun.
Bayu berasal dari Pulau Simeulue. Bayu pemuda mandiri dengan tuna daksa. Sejak lahir Bayu membwa “keistimewaan” yang Allah titipkan dalam hidupnya. Kondisi syaraf kakinya lemah. Membuat ia tidak bisa berjalan sempurna seperti normalnya pemuda sebayanya.
Kondisi Bayu pernah mengalami titik terburuk bagi kesehatannya. Saat orang tuanya mengalami kesulitan keuangan, Bayu dipindahkan dari Simeulue ke Banda Aceh, untuk memudahkan ia berobat dan cek kesehatan di salah satu rumah sakit di ibukota Provinsi Aceh tersebut.
Namun sebelum pindah ke Banda Aceh, kesigapan orang tuanya membersama Bayu, membuat Bayu lebih cepat tertolong. Kata Bayu pada saya, jika orang tuanya tidak cepat mengambil tindakan, maka akan berpengaruh serius kepada gangguan bicara dan organ lainnya, seperti gerak tubuh.
Melihat kondisi Bayu yang sejak lahir sudah membawa keistimewaan itu, orang tuanya mengawal Bayu dan memberikan terapi sejak Bayu berusia satu tahun dari1998 hingga 2002. Nyaris 5 tahun lamanya ia harus dibawa bolak-balik untuk terapi.
“Orang tua saya luar biasa Pak, mereka menerima saya dengan hati yang luas. Saya berobat dan terapi dari Pulau Simeulue ke Padang dengan menggunakan kapal laut yang mengangkut kerbau dari Simeulue. Saat itu Padang adalah pilihan yang pas menurut orang tua saya, karena Aceh masih dalam keadaan konflik,” Bayu mengurai kisah dengan nada pelan.
Gempa dan tsunami tahun 2004 membuat perubahan drastis. Kesulitan mengakses pelayanan kesehatan saat itu membuat Bayu tidak bisa terapi dengan baik, karenanya memutuskan pindah ke Banda Aceh.
Saat duduk di kelas 1 sampai kelas 3 SMP, Bayu harus bolak-balik rumah sakit. Seorang dokter menyarankan Bayu untuk bisa aktif bersama teman sebayanya agar membentuk mental yang sehat dan menguatkan penerimaan Bayu pada dirinya sendiri.
Puncaknya saat kelas 3 SMP, Bayu bergabung dengan Forum Anak. Kebersamaannya dalam forum itu turut membentuk kepercayaan dirinya. Awalnya saat kelas 1-2, Bayu merasakan penolakan dari teman-temanya. Tidak dianggap dan selalu menjadi korban perundungan.
Bayu sadar betul, sebagai orang yang dihadiahkan keistimewaan dari Allah, disambutnya dengan bersyukur dan bekerja keras menuju kebermanfaatan diri yang baik. Kesempatan belajar seiring kepercayaan diri yang makin baik, membuat kemampuaannya berorasi dan menyusun konsep pengembangan kapasitas anak-anak mulai didengarkan dan dinanti banyak pihak.
“Semua manusia terlahir sama dimata Allah, yang membedakannya adalah ketakwaannya. Saya mengimplementasikan ketakwaan itu dengan bersyukur, ibadah dan membantu orang lain,” ujar Bayu bersemangat.
Tahun 2000 Bayu mulai menjadi mahasiswa bimbingan saya dalam menyelesaikan tugas akhirnya di Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Ar-Raniry. Sebagai dosen pembimbing utama sekaligus Ketua Program Studi tempat ia menempuh pendidikan, saya semakin mengenal sosok istimewa ini.
Bayu seperti “mesin giling”, mengunyah semua pekerjaan berat dan tantangan yang diberikan kepadanya dengan baik dan penuh tanggung jawab. Tidak meleset. Saya sebenarnya memberikan dispensasi kepadanya bila dia lelah untuk tidak harus bimbingan sepanjang minggu.
Namun timeline yang dibuatnya sendiri untuk menjadwalkan semua kegiatannya dengan rapi, membuat ia tidak ingin diistimewakan. Dia benar-benar ingin dianggap normal seperti anak lainnya, tidak ada pengecualian. Saya kagum dengan caranya menghargai dirinya, dan menghargai saya sebagai pembimbingnya.
“Sekarang saya ingin menggunakan waktu 24 jam perhari yang Allah berikan, dengan semangat produktif dan penuh tanggung jawab, tanpa merasa minder,” kata Bayu.
Dalam keseharian, sebaliknya saya justru belajar banyak dari Bayu. Ia selalu berusaha untuk selalu tepat waktu bila bertemu saya dan melakukan segenap aktifitasnya tanpa alasan.
“Wah, cepat sekali sampainya, Bayu,” kata saya suatu hari ketika janjian untuk bimbingan.
“No excuse, Pak,” katanya senyum.
Kata itu selalu saya ingat. No excuse. Tidak ada alasan.
Kedisiplinan, tidak malu untuk berbuat dan berkarya meski tidak mudah, menjadi modal besar untuk anak muda ini berbagi dan melakukan sesuatu. Pada Oktober 2020, Bayu mengundang saya untuk menghadiri pembentukan sebuah Yayasan Suara Aksi Orang Muda atau dikenal dengan YouthID. Yayasan ini dibentuk oleh sekelompok orang muda, Bayu di antaranya.
YouthID berkonsentrasi pada peningkatan kapasitas dan kualitas hidup anak muda di era digital, mengadvokasi pemenuhan hak-hak anak muda dan memaksimalkan partisipasi aktif anak muda pada setiap isu sosial yang mendukung pembangunan berkeadilan dan berkelanjutan. Berdiri sejak 28 Oktober 2018 dalam rangka Hari Sumpah Pemuda dengan nama Millennials Empowerment dan diresmikan sebagai lembaga berbentuk yayasan sejak 28 Oktober 2020 dengan nama Yayasan Suara Aksi Orang Muda.
Berjuang untuk kemajuan anak muda agar maju dan setara dengan anak muda kretaif di wilayah Indonesia yang lain, telah membawa Bayu kepada banyak pertemuan anak muda di Indonesia.
Ia pernah menjabat Program Manager Aceh Youth Action (AYA) psychosocial support program and child protection for the Covid-19 response, Juni 2020 sampai Desember 2020, sebagai Facilities Manager di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh sejak 2017-2020, Staff Research and Campaign Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Aceh. Sejak Januari 2021 hingga sekarang dipercayakan sebagai Campaign Specialist di LSM Flower Aceh.
Segudang karya nyata dan kerja-kerja sosial dan profesional tersebut membawa Bayu untuk mendapatkan tiket sebagai salah seorang peserta pada Asian Health Institute International Leadership Development Course (AHI ILDC) AHIILDC/2020-2021 di Jepang.Tapi apakah semua itu sudah cukup? Bayu tersenyum mendengar ucapan saya.
“Kita sebenarnya sangat bersyukur, di tengah kondisi sulit seperti Covid-19 yang semakin mewabah ini, beruntung dan bersyukur tidak sakit, dan bisa berpikir untuk membantu banyak orang dari kerja dan konsen kita masing-masing,” katanya.
Jadi, bagaimana kita menyeimbangkan kebutuhan membantu dan dibantu adalah sebuah proses berpikir ideal di tengah suasana yang tidak ideal. Tetap tegak lurus dan terus mengejar kebermanfatannya, sepertinya menjadi tujuan baik Pak, katanya lugas.
Sosok Bayu dan juga Pak Tam yang saya ceritakan diawal narasi ini memberikan pelajaran bahwa karier setiap orang sebelum Covid-19 terlepas hebat dan maju akan bisa berubah dengan cepatnya, namun karakter baik serta kebermanfaatan tidak tenggelam oleh waktu.
Perubahan karier banyak orang selama dua dekade terakhir, periode yang telah merentang sejak ledakan krisis keuangan 1998, konflik Aceh 20 tahun, gempa bumi dan tsunami Aceh 2004 dan bagaimana virus Covid-19 yang menyerang dunia, tanpa terkecuali, telah membawa kita semua kepada sebuah pertanyaan puncak, mauapa setelah peristiwa itu?
Pengalaman tersebut telah mengajari saya akan hal ini: beberapa asas sederhana dapat membantu mereka yang hidup melalui masa-masa sulit terus berfokus pada menemukan kembali diri mereka yang kita bantu akan membuat mereka bisa melihat kembali masa depan dengan versi mereka dalam dukungan orang lain, tanpa dipaksa tanpa membeo.
Sosok Pak Tam dan Bayu juga mengajarkan kita secara tidak langsung, tentang bagaimana bereksperimen, menguji nyali, berinovasi, dan terus bertanya dan belajar bagaimana membuat kemungkinan diri untuk berbuat tanpa larut dalam bingkai orang lain.
Hari ini, lebih dari sebelumnya, jalan menuju karier berikutnya bisa jadi berputar-putar, mencari versi idealnya. Namun mencakup semua itu sangat penting untuk membayangkan kemungkinan diri dan masa depan yang berbeda. Rangkul lah proses itu dan jelajahi sebanyak mungkin yang Anda bisa. Berbuatlah selagi bisa.
Pak Tam dan Bayu, dua cermin yang sudah memantaskan diri mereka melewati masa tidak baik, suasana rumit bahkan kesabaran ekstra, namun tetap bisa tidak terikat, tidak kehilangan arah, dan tidak terombang-ambing. Namun sebaliknya, justru bertahan. Krisis saat ini kemungkinan besar akan memperpanjang gelisah keadaan di antara kita bila tidak mengenal kebermanfaatan apa yang kita bisa buat dan lakukan. Meskipun terkadang membuat kitajuga melakukan perenungan.
Waktu untuk berhenti dan meratap bahkan kadang sudah tidak penting untuk mengisi kembali simpanan perhatian dan motivasi otak, tetapi juga untuk mempertahankan proses kognitif yang memungkinkan kita untuk mengembangkan kemanusiaan kita sepenuhnya. Begitulah cara kita mengkonsolidasikan ingatan, mengintegrasikan apa yang telah kita pelajari, merencanakan masa depan, mempertahankan kompas moral kita, dan membangun kesadaran kita tentang diri kita sendiri.
Terimaksih Pak Tam dan Bayu. Saya bersyukur, ternyata didunia ini Allah masih mengirimkan orang-orang baik, dan tidak hanya sekedar baik, tapi diatas rata-rata.
Kolom ini telah terbit dalam media online readers.id