Press "Enter" to skip to content

DNA Belajar

APABILA telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

Nasehat agama yang disampaikan khatib selepas Jumat membuat semangat di hati rasanya bertambah triliunan kali lipat. Surat Al-Jumu’ah ayat 10 yang khatib sampaikan panjang lebar membuat saya seperti tiba-tiba memiliki “sayap” untuk terbang, semangat untuk belajar banyak hal, tidak merasa terlambat menata banyak yang tertinggal, mengambil semua hikmah yang bertebaran dimana-mana, dan yakin Allah memberikan contoh dan pelajaran sepanjang helaan napas, dengan disertai jalan keluar. Alhamdulillah.

Setiap Jumat rasanya banyak sekali pelajaran yang didapat. Salah satu yang paling kuat adalah bagaimana belajar menghargai diri sendiri. How to respect myself. Empat suku kata sederhana ini mengingatkan saya pada almarhum Ayah. Melihat orang yang berproses dan terus belajar dari keselahannya agar tidak masuk lubang yang sama. Lihatlah bagaimana ia mengubah apa yang tak baik menjadi baik, yang tak pantas dilakoni diganti menjadi sesuatu yang pantas dilakoni. Pada orang-orang seperti itu, kita akan melihat kerja keras dan kemampuannya untuk menghargai dirinya sendiri. Benar adanya, Allah tidak akan mengubah manusia, jika manusia tersebut tak berusaha mengubah dirinya.

Saya beruntung pada lingkungan yang mendukung menghargai diri sendiri. Sama halnya seberuntung saya bertemu dengan seorang sosok anak muda yang memulai semua usahanya dari nol: bahkan rugi, bukan untung. Kami sepakat melanjutkan obrolan di sebuah kedai kopi kecil yang jauh dari keramaian dan sepi. Di dekat sebuah masjid.

Namanya Muhammad. Ia baru saja menikah, setelah merasa cukup pantas memperjuangkan niatnya di hadapan orang tua, karena merasa telah cukup mengumpulkan materi untuk membiayai semua yang layak ia perjuangkan.

Banyak yang berpikir pilihan menikah dengan usia yang sangat muda adalah sebuah pilihan yang kental dengan rasa emosi,” demikian ia membuka kisah di hadapan saya dan segelas kopi hitam.

Padahal emosi yang saya gunakan hanya sekedar energi, untuk menunjukkan saya memiliki prinsip dan layak diperjuangkan,” katanya disertai senyum tipis.

Lalu dia menambahkan, perjalanan prinsip itu bukan sesederhana persoalan naik sepeda yang dibawa dengan kecepatan kencang, namun juga persoalan kemana setang akan diarahkan. “Itu lebih penting,” katanya lagi.

Muhammad sahabat baru saya. Pertemuan di kedai kopi itu perjumpaan kami yang keempat. Saya dikenalkan oleh seorang enterpreneur muda, saat itu kami akan mengelola kegiatan ekonomi anak muda berbasis masjid. Tapi sejak pertemuan pertama, saya sudah merasa dia bukan anak muda biasa.

Ketenangannya dalam berbicara, menganalisa, tidak “heboh” serta selalu berargumen positif nan santun, membuat diskusi makin seru, apalagi mendengar kisah jatuh bangunnya berbisnis ketika memulainya dengan usia yang sangat muda, sejak memasuki usia 18-an tahun. Saat sebagian besar anak-anak remaja memilih untuk bermain bersama teman dan tidak merasa memiliki beban akan diri mereka, ia merasa justru harus berjuang.

“Perjuangan saya adalah cara saya menghargai diri sendiri.”

Ia melanjutkan bercerita. Kadang terhenti sejenak, seperti menapaki perenungan yang dalam, namun penuh tekad. Melalui berbagi kisahnya, ia seakan menjelma seorang trainer profesional dengan jam terbang puluhan tahun, mengajari saya melalui kisah yang dialaminya sendiri. Dalam memulai usaha, kita tidak perlu kecewa, dan bersedih. Toh, jika akhirnya dalam usaha tersebut menemukan banyak kendala di sepanjang perjalanan, itu bukan akhir dari tujuan. Itu biasa lah, katanya seraya tersenyum.

Kecewa itu harus diartikan sebagai sumbangsih kekuatan baru untuk diri kita. Perasaan kecewa bisa diubah menjadi sebuah harapan yang luas: berhenti sejenak lalu melanjutkan perjalanan dan membangun lagi harapan yang jauh melampaui orang lain. Tidak boleh berhenti tiba-tiba. Terus bergerak, menemukan teman seperjuangan, berkolaborasi dan berjuang.

“Berjuang seperti apa?” saya menyela.

“Saya memulai bisnis sejak muda, Bang. Seriusnya belum genap 20 tahun,” katanya.

Namun sepanjang itu pula ia mengaku belajar mencari teman untuk diajak maju bersama-sama. Ia belajar mencari dan menemukan orang-orang yang inovatif untuk membangun bisnis yang ia rintis.

“Selebihnya saya juga punya tanggung jawab berat, menjadikan diri saya juga lebih inovatif. Jika tidak, bisa jalan sendiri-sendiri,” katanya lagi.

Muhammad berkisah, orang-orang yang ia temui dalam sepanjang perjalanan bisnisnya, kebanyakan sosok yang belum bisa melepas ketergantungannya kepada orang lain. Biasanya lebih sering “membeo” dan kurang inisiatif. Dia pun membangun kesadaran untuk pelan-pelan melepas ketergantungan itu. Jika tidak, bila suatu saat mereka malah tak bisa memilih, lalu menjadi ketergantungan pada orang yang secara kapasitas mungkin di bawah mereka. Jalannya pasti akan beda. Tidak tahu siapa driver siapa follower. Muhammad tertawa.

“Nah, tantangan dan hambatan tadi sejatinya bisa jadi jalan kita memahami itu, belajar dari semua orang yang kita temui,” katanya.

Ketika memulai bisnisnya, Mat—demikian ia disapa orang terdekatnya, sudah sungguh-sungguh dengan perusahaannya harus mengubah cara pandang orang melihat kegagalan. Orang-orang yang mau ikut maju dan sukses bersama harus memiliki “DNA Belajar”. Ibaratnya dalam tubuh manusia memiliki deoxyribonucleic acid atau DNA, sejatinya juga bisa diibaratkan dalam kehidupan berbisnis. Sel bisnis di tubuh pelakunya juga tersusun bak rantai molekul yang berisi semangat belajar dan terus belajar pada apa yang ia tekuni.

DNA bisa sangat bermanfaat untuk menunjukkan perbedaan seseorang dengan yang lainnya. Yang sangat terang benderang adalah perbedaan pebisnis yang terus mau belajar dan tidak.

“DNA belajar itu yang harus kita kelola dengan baik,” kata Muhammad lagi.

Ia mengaku pernah berada pada titik terendah dalam hidupnya berbisnis. Rugi, rugi, dan masih jauh dari untung. Sampai ia mendapatkan sebuah buku penyemangat, yang lebih kurang menjelaskan: Kita tidak mungkin langsung  sukses. Kegagalan mengajarkan seseorang untuk harus terus belajar dan berproses yang disertai sabar.

Mat pun mengaku belajar keras dan bersabar dalam sepanjang prosesnya. Mengelola jam kerja dengan benar dan menyelipkan waktu istirahat dan belajar, agar terus semangat dan produktif. Pengalamannya tidak jarang harus mengatur lebih keras lagi, karena tuntutan yang meningkat di tempat kerja. Kapasitas terus diperbaiki, terutama untuk bekerja, mengelola emosi, pikiran, dan jiwa. Di masing-masingnya ia kembangkan lagi secara sistematis, teratur dengan menetapkan schedule tertentu dan dipraktikkan dan dijadwalkan dengan tepat, agar ia bisa sadar untuk terus belajar dengan bersabar.

Pertemuan dengan Muhammad adalah pertemuan mewah bagi saya. Saya belajar bagaimana setiap orang memiliki cara untuk bisa pulih dari apapun persoalan yang dihadapi. Pemulihan yang tidak terputus-putus. Secara fisiologis kita tidak mampu mempertahankan emosi yang sangat positif untuk waktu yang lama. Namun, formula “bersabar dan terus belajar”  bisa mewujudkan hal tersebut.

Waktu sangat cepat berlalu. Di hadapan kita banyak perubahan dan tuntutan tak terduga, yang sejatinya jangan sampai membuat kita tergelincir ke dalam emosi negatif. Keadaan kadang memaksa kita berpikir keras dan menguras energi, sehingga menyebabkan “gesekan” dengan banyak hal. Namun dengan mengelola DNA belajar dan bersabar, sejatinya  bisa membuat kita terus berpikir jernih, logis, dan reflektif.

Ketika setiap orang di luar sana belajar mengenali masalah dengan emosi negatif mereka, harus kita imbangi dengan respon positif. Setiap kita memiliki modal waktu yang sama, 24 jam, 1.440 menit dan 86.400 detik per hari. Tentu jika semua waktu itu dikelola dengan baik dengan sabar dan belajar, mestinya akan memberikan kontribusi baik juga kepada kita. It’s not enough to be busy, so are the ants. The question is, what are we busy about?” Sibukkan diri dengan kebaikan. Bukan sekedar sibuk, tapi sibuk yang memiliki kebermanfaatan. Jangan tunggu lusa, mulai sekarang. Kelola DNA Belajar diri kita masing-masing.

(Kolom ini tekah terbut dalam media online readers.id)