SEJATINYA negara adalah organisasi yang amat kokoh dan kuat. Di dalamnya ada banyak unsur, seperti penduduk, wilayah, angkatan bersenjata, sistem birokrasi, dan sebagainya. Semua ini tentu tak begitu saja terjadi. Ini merupakan hasil perkembangan berabad-abad, sejak abad ke-16 di Eropa Barat, dan ditiru di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Namun saat ini tidak ada entitas politik yang disebut “negara” yang tidak mempunyai kedaulatan, baik kedaulatan ke dalam maupun keluar.
Kedaulatan ini sangat serius dan dijamin oleh perjanjian Westphalia yang diadakan pada tahun 1648. Meskipun sesudah perjanjian ini masih terjadi pelanggaran kedaulatan berulang-ulang, perjanjian ini masih diakui sebagai basis kedaulatan Negara pada masa sekarang juga. Bahkan dapat dikatakan Perjanjian Westphalia ini berdiri sebagai paradigma yang tidak terucapkan dalam hubungan internasional saat ini. Di tengah berbagai perubahan yang tidak menentu inilah, dibutuhkan “batas”. Secara tidak langsung, pesan semacam inilah yang dapat dipetik dalam sebuah novel yang berjudul BATAS, antara keinginan dan kenyataan. Memang apa yang terurai sangat beralasan. Sejumlah tanda “batas” yang terbaca antara lain, ketika sosok Jaleswari dalam novel ini tiba di daerah Entikong, yang berjarak 6 jam perjalanan darat dari Pontianak.
Sejumlah tanda bahwa kita memerlukan batas, yang terlihat dalam novel ini seperti dengan maraknya “perang informasi” yang di dapatkan Jaleswari melalui telepon seluler nya, ketika berada di daerah yang sama dan waktu yang bersamaan pula
Isi pesan pendek di telepon tersebut :
Selamat datang di Malaysia. Hemat 90 % menelpon ke nomor mana pun di Indonesia dengan menggunakan Cellcomm. Tak perlu mengganti dengan nomor Malaysia.
Dari novel tersebut, tergambar Jaleswari yang tak habis pikir. Bukan kah daerah yang ia pijaki (Pontianak-Entikong), masih merupakah wilayah Republik Indonesia? Ataukah ini technical error saja, mungkin karena operator seluler di negeri jiran itu mempunyai daya pancar yang tinggi sehingg menutup wilayah Entikong?
Belum lagi penasaran dan kebingungan yang tak terjawab tentang batas Negara karena informasi dari telepon seluler nya tersebut, Jales dibuat bingung lagi melalui pesan kedua yang masuk di telepon selulernya
Selamat datang kembali di Indonesia. Gunakan operator ini untuk kebutuhan komunikasi anda
Sebuah “sambutan selamat datang” yang unik, yang tidak pernah terlintas di benak sosok Jaleswari, yang sesungguhnya menjadi semacam pertanyaan lama yang menyeruak ke hati sanubari kita semua. Inikah Indonesia? Ketika perang pernyataan tentang batas Negara tidak hanya kita lihat di televis dan kita dengan di radio atau kita baca di surat kabar, setiap hari. Namun, perang pernyataan tentang batas negarapun memasuki ranah digital, termasuk telepon seluler. Hmm, terasa garing kedengarannya
Memang, “Negara” pada dasarnya adalah gejala modern, yang diperlukan oleh manusia modern untuk mengorganisir kehidupan bersama secara modern. Sebagaimana diuraikan oleh Anthony Giddens, di Eropa pada masa feudal, misalnya, tidak dikenal “Negara” dengan batas-batas wilayah yang tegas. Pada fase berikutnya, ketika absolutism berhasil menaklukkan penguasa feodal, Negara masih pada tahap embrio karena di situ belum ada system administrasi, system perpajakan, dan sebagainya. Baru ketika muncul “nationstate” pada abad ke-17 muncullah Negara di Inggris yang mempunyai batas wilayah yang kurang-lebih tegas, dilengkapi dengan system administrasi dan sitem perpajakan, juga dengan ideology nasionalisme. “warga Negara” dituntut untuk setia kepada Negara, dan Negara berkewajiban untuk melindungi warganya. Hal inilah yang menjadi pikiran berat bagi Jaleswari, meski ketika di Entikong ia sama sekali tak merasakan itu diawal kedatangannya
Nasionalisme dalam batas
Ditempat yang nyaris tanpa batas Negara tersebut, Jaleswari menemukan dua mata uang produk dua Negara yang berbeda. Ternyata masyarakat yang ditemui Jales (panggilan Jaleswari) juga tidak tahu menahu bendera mana yang harus mereka gunakan. Bukan itu saja, pendidikan juga menjadi sesuatu yang tidak penting, karena disana anak-anak tidak perlu sekolah asalkan bisa menghasilkan uang. Naifnya , mereka juga “menjual” anak gadis sendiri seolah biasa agar mereka tidak membebani keluarga.
Di tempat itu JALESWARI menetapkan pilihannya, menyelesaikan misi di bidang pendidikan yang sempat terhenti tanpa alasan jelas. Tak kuasa menolak karisma hutan dan budaya Dayak, ia melangkah mantap melintasi segala batas aturan. Namun, usahanya tidak semudah yang dibayangkan. Tidak semua warga mendukung idenya. Sementara banyak peristiwa kemanusiaan memilukan terjadi di depan matanya.
Disana, Jaleswari mendapatkan pengetahuan tentang adanya perbatasan wilayah Malaysia dan Indonesia yang hanya dilapisi sebuah batu perbatasan saja.
Selain perbatasan Negara, terbatasnya pendidikan yang didapatkan dari anak-anak di pedalaman tersebut menjadi kendala bagi dirinya. Serta perbatasan budaya pun menjadi awal tekanan batin yang dialami Jaleswari ketika berada di pedalaman tersebut. Untungnya ada Nawara, yang dianggap Jaleswari sebagai ibu kandungnya sendiri, yang selalu mendukungnya. Namun demikian, sikap dari rakyat yang tidak suka terhadap kedatangan Jaleswari di sana pun semakin geram untuk mengusir Jaleswari dari tempat mereka. Mereka merasa Jaleswari sudah melampui batas berada disana dan merugikan mereka karena anak-anak jadinya tidak dapat membantu para orangtuanya berladang kembali. Jaleswari melewati batas-batas tersebut dan menyelesaikan misi dia sesungguhnya
Dari kisah-kisah tersebut, terlihat sangat kental nasionalisme yang ingin dibangun oleh seorang Jaleswari. Bagaimana sosok Jaleswari yang penuh ambisi dan semangat tinggi memulai kehidupan yang tak biasa dari perjalanan hidup sebelumnya. Kisah-kisah yang muncul dalam novel ini menceritakan perkalanan Jaleswari tentang kehidupan masyarakat Entikong di pedalaman Kalimantan yang secara langsung berbatasan dengan Malaysia.
Dalam novel ini juga kelihatan, bagaimana cerita cerita humanis yang memberikan yang lain. Spiritnya tetap nasionalisme, tapi juga memberikan kisah yang ada nilai wawasannya, edukasinya, yang bisa memberikan empati terhadap sesama
Batas di sini artinya bukan perbatasan secara fisik saja, tapi lebih kepada filosofi di balik itu tentang kondisi bangsa Indonesia. Batas yang tidak secara empiris fisik perbatasan begitu saja. Pesan nasionalisme pun menjadi isu utama yang diangkat dari kisah kehidupan masyarakat daerah Entikong, Kalimantan Barat.
Novel ini seperti ingin mengajak dan membuat kita dan semua orang untuk memiliki kepedulian yang tidak hanya ditunjukkan kepada salah satu pihak mana pun, tetapi untuk kita seluruh komponen bangsa bisa memberikan terhadap saudara-saudara kita yang lainnya. Seperti sebuah pernyataan yang munvul dalam cerita terakhir
…Membangun pendidikan dengan pendekatan budaya local, membangun jaringan ekonomi dengan basis local, sekaligus merangsang kembali tumbuhnya kemampuan indigenous people bagi kelangsungan kehidupoan di kawasan perbatasan, yang pada akhirnya ditujukan untuk secara mandiri mengentaskan hidup dari ketertinggalan pembangunan…
***
Novel ini juga menjadi pembuktian, dahsyatnya kedalaman kata dan penelusuran penulisnya (Akmal Nasery Basral), dalam setiap kisah yang ditampilkan. Membaca novel BATAS ini, seperti mengajak saya berada dalam suatu wilayah yang sama sekali belum saya jajaki, namun sangat saya rasakan. Seperti novel-novel yang ditulis sebelumnya, novel ini pun membuat saya menjadi merasakan bahwa Indonesia masih ada, dan saya mencintainya. Indonesia