Press "Enter" to skip to content

Hospitality

SERING kita mendengar kata-kata yang bijak dari sahabat atau orang-orang terdekat, ketika sedang merasa down, dibuat sedih oleh sesuatu sebab atau banyak hal yang kadang berujung kecewa. “Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja”. “Jangan bersedih, ada kami disini”. Bahkan banyak kata-kata yang kuat dan dahsyat mengatasnamakan ketulusan.

Mendengar kata-kata itu, kadang saya merasa tidak sendiri, tidak ditinggalkan, atau bahkan merasa bahwa ada orang yang mau tahan badan untuk kita. Betapa bahagiannya mendengar kata-kata itu. Ada orang yang mau berkorban untuk seseorang, dan itu di luar dirinya sendiri.

Menarasikan perasaan itu, mengingatkan saya pada seseorang di sebuah kota yang pernah saya singgahi. Jeju Island, Korea Selatan. Di sana saya belajar; bertemu banyak orang  yang sangat serius mengelola pendidikan melalui pengembangan sumber daya manusia yang baik, dengan hidup yang sangat bersahaja, sederhana, dan penuh dedikasi, namun tetap mengedepankan kebermanfaatan dalam kehidupan mereka.

Ingatan saya melambung kepada sosok itu. Seorang cendikia  bernama  Prof Sung Kyu KIM. Ia seorang Executive Director, KCC, UofN Jeju Campus.  Suatu pagi di bulan Oktober 2016, ketika pesawat yang saya tumpangi dari Jakarta menuju Seoul mendarat, saya mengaktifkan mobile phone. Langsung masuk sebuah pesan.

Dear Dr. Hendra, I shall be looking forward to the greatest pleasure of seeing you at the Int’l Airport in Jeju in the afternoon, October 25.

Di tengah berjibaku dengan hiruk-pikuk Bandara International Incheon, Korea Selatan, saya segera bergegas keluar dari bandara, menaiki bus pengantar menuju Bandara International Gempo, Seoul, Korea Selatan, tak jauh dari Bandara Incheon, untuk kembali terbang menuju Jeju Island. Pesawat Korean Air membawa saya terbang 1 jam 10 menit lamanya hingga sampai di Bandara International Jeju di Jeju Island.

Korean Air Route to Simplify Journey to Jeju IslandDestinAsian | DestinAsian

Siang setiba di Jeju, saya merasa sangat beruntung. Di tengah bandar udara terbesar di Korea Selatan dan merupakan salah satu yang terbesar di Asia, ada seseorang yang datang menjemput.  Tak lama berselang, setelah membereskan semua barang bawaan dan “drama” pemeriksaan di sana-sini, dan keluar menuju ruang kedatangan, sosok pria 55 tahun muncul di hadapan saya.

Sebuah kalungan bunga selamat datang disematkan di leher saya. Tak lama berselang, sebuah kue tar kecil bertulis happy birthday pun disodorkan ke hadapan saya. Saya kaget dengan kejutan itu. Saya sadar saat di pesawat terbang saya memang sedang memasuki bulan kelahiran saya, namun tak terbayang akan ada kejutan seperti itu keesokan harinya.

Setengah serius, saya bertanya, kok Prof KIM ingat ulang tahun saya? Ia hanya tersenyum.

“Bukankah kamu pernah Cc email ke saya saat mengurus visa ke Korea?, ada data kelahiran di paspor,” katanya tersenyum.

Lalu saya sambut senyum, sambil mengarahkan kamera gawai untuk mengajak  swafoto.

Done! Selamat datang di Jeju Island, katanya berbagi gembira.

Menjemput kedatangan saya, Prof. KIM mengajak saya untuk keliling Kota Jeju sebelum mengantarkan saya menuju tempat tinggal saya nantinya. Sebagai seorang yang senang dengan kebudayaan dan pariwisata, tentu itu membuat saya senang dan bahagia. Bukan saja karena akan tahu banyak hal, tapi juga bisa belajar banyak hal dari sikap dan sambutan Prof. KIM dan sahabat-sahabatnya. Orang-orang yang saya temui di Jeju sangat mengedepankan hospitality dalam memberikan pelayanan pada banyak hal, bukan hanya kedatangan tamu mereka.

Saya berpikir dalam hati, hospitality jika tidak dilakukan dengan senang hati dan ikhlas, pastilah hasilnya capek dan lelah. Ujung-ujungnya seperti terpaksa atau menjalankan sebuah pengorbanan. Meski terlihat seperti sebuah pengorbanan, namun gagasan pengorbanan akan berubah arti hospitality.

Hospitality sebuah kata yang bermakna friendly. Apabila diterjemahkan kurang lebih berarti: ramah-tamah dan murah hati dalam menerima dan menghibur orang lain, semisal tamu dan sahabat, bila dilakukan dengan panggilan jiwa. Sikap hospitality itu menjadi sumbahngsih kebahagiaan bagi seseorang yang memberikannya dan yang menerimanya. Tentu saja jika ada keikhlasan di dalamnya.

Mengenang hospitality, saya tidak saja mendapatkannya saat berada dan tinggal di Korea Selatan, namun juga setelah kembali ke Indonesia. Setiap kali ada hal-hal yang membuat mereka cemas, semisal gempa, tsunami dan bancana-bencana lain yang mereka baca di media massa online, tak lama berselang, pastilah saya mendapati email-email dari mereka.

Kami berharap kamu dan keluarga baik-baik saja.” Yang lainnya juga mengirimkan kabar, “Apa yang kami bisa bantu, jangan sungkan memberi tahu.

Mendapati perhatian itu tentu hati ini merasa bahagia, meski jarak sangat jauh, namun hospitality tidak luntur. Terlebih ketika dunia diserang pandemi Covid-19, sahabat-sahabat disana juga bertanya dan membagi tips agar terus semangat melewati masa sulit ini.

Menuntaskan tulisan ini, sayapun mengirimkan kabar kepada meraka, sahabat-sahabat jauh dan dekat yang telah banyak membantu. Di Jumat yang indah dan penuh berkah, saya menerima banyak kabar baik, yang perlu saya syukuri. Membuat semangat menyelesaikan tulisan ini menjadi sangat semangat. Mulai dipilih menjadi reviewer buku-buku yang diterbitkan sebuah publisher di Jakarta, diundang mengikuti pelatihan trainer tingkat advance oleh Google News Inisiative, sampai dengan jurnal penelelitian saya dipublikasikan di jurnal bereputasi internasional di Inggris.

Semua itu tentu tidak terjadi begitu saja. Banyak orang yang secara tidak langsung memberikan kontribusi kepada kesempatan emas itu. Mulai dari diberi kesempatan, diajari, dibantu, sampai dijaga dalam sebuah grup berbagi pengetahuan. Kebahagiaan itu membuat saya mengingat kekuatan kata hospitality, yang saya singgung di narasi pembuka tulisan ini.

Hospitality sejatinya memang tidak membedakan ras, tapi tetap menghormati latar belakang setiap orang yang kita temui, termasuk keberagaman. Berbicara tentang keragaman mungkin sulit dan tidak nyaman, tetapi sejujurnya, ketidaknyamanan yang ditakuti banyak dari kita inilah yang membantu kita membuat kemajuan. Ketika kita mengatasi perasaan itu, mendorong diri kita sendiri untuk berefleksi, menantang bias dan perspektif kita, yang muncul dan menjadi lebih berniat untuk menciptakan ruang di mana semua orang merasa diterima. Sejatinya ini bisa kita dapati dan pelajari di ruang kerja, atau tempat di mana kita bekerja.

Hospitality dalam perbedaan latar belakang, semisal di tempat kerja yang lebih efisien dan produktif adalah tempat yang membantu kita dan tim mereka memahami mengapa saling memahami dan membantu membuat kita semakin menjadi kuat dan tidak gampang goyah. Tinggal bagaimana kita menggunakan makna hospitality itu; bagaimana mendidik diri sendiri menciptakan budaya hospitality yang memungkinkan kita menerima pembelajaran terus-menerus untuk bisa menerima banyak hal yang tidak sesuai dan tidak cocok, sehingga kita selalu menjadi “orang baru” dalam kehidupan ini.

(Kolom ini tekah terbit dalam media online readers.id)