Press "Enter" to skip to content

Jangan Baper

KATA seorang mentor saya dulu, hanya orang “gila diakui” yang banyak bicara dan hanya orang bijak yang mampu memisahkan antara dia bicara benar atau asal bicara. Sebab, menjadi pintar bukan berarti mengumumkan dia pintar, tapi justru dari pengakuan orang-orang lain di sekitarnya.

Masih menurut mentor saya. Ada dua kelas orang pintar. Pertama, memang pintar (sampai tingkat kepintarannya). Kedua, pintarnya tidak sampai pada tempatnya.

Nah, katanya, biasanya kelas kedua ini yang sering terlihat di banyak kesempatan sebagai sosok yang lain. Karena kurangnya “kepintaran” itu membuat gelombang kedua ini benar-benar menggunakan segala daya upaya untuk menjadi paling unggul, paling pertama, paling tahu, paling bisa, paling mampu, dan paling-paling lainnya. Semua rentetan itu membuatnya menjadi merasa representatif dalam segala hal. Suka baper alias terbawa perasaan. Naif memang, tapi mau bilang apa.

Setelah obrolan itu, saya kadang suka merasa sedih! Membayangkan, kalau semua tipe dalam obrolan ini ada di lingkaran kehidupan kita. Terbayang pastinya, ingin berbuat, tapi mungkin tak berani. Ingin memberi saran, tapi bukan siapa-siapa. Selanjutnya memilih diam saja. Ya, diam lebih baik.

Dalam level pergaulan, pun demikian. Sering sekali, duduk dengan si A, dianggap pro si A. Duduk dengan si B, dianggap pro pada si B. Jangan-jangan, kalau suatu saat duduk dengan monyet (di kebun binatang misalnya), syukur-syukur tidak dianggap monyet. Tidak dianggap saja sudah syukur. Duh!

Inilah fenomena! Bertemu dan berhadapan dengan genre yang baper akan bisa membawa perasaan dengan tingkat parah. Tidak terlibat dalam percakapan dan pola pikirnya saja, sudah luar biasa.

Kadang saya berpikir. Masa iya sih.

Ya. Masalahanya kita tidak mungkin membuat semua orang suka pada kita, terlepas mereka suka atau tidak suka, kenal atau tidak kenal. Intinya, jika tidak suka, tidak perlu membenci. Jika tidak bisa menghargai, tak perlu teriakkan amarah. Diam saja. Jangan perkeruh suasana. Bumi ini Allah yang membuatnya berputar, bukan siapa pun yang lain. Masih mau menjadi pembenci, pemarah, atau penghancur?

Kata sebuah ungkapan, jangan pernah berpikir engkau adalah Atlas yang memanggul Bumi di pundaknya. Bumi akan tetap berputar tanpa engkau sekalipun. Jangan menganggap diri terlalu penting, tetapi latihlah bersikap selalu senang dalam bekerja, tidak tertekan atau terbebani. Resapi makna hadirnya engkau di muka bumi ini.

Sebab sekarang, musimnya sedang gitu. Banyak orang merasa lebih tahu orang lain dibanding dirinya sendiri. Golongan ini malah tak kenal pada diri mereka sama sekali, lalu salah menjalankan peran.

Yang penting, katakan pada siapa pun yang tidak suka, tidak setuju, tanpa alasan: don’t ask me why I am still learning, ask yourself why you don’t. Believing in someone is good, believing in yourself is great, believing in God is everything.

Jangan tanya mengapa saya masih belajar, tanyakan pada diri Anda mengapa Anda tidak. Percaya seseorang itu bisa baik, percaya pada diri sendiri itu hebat, percaya pada Allah adalah segalanya.

Kalau membaca ini, bisa jadi pelajaran buat Anda, mereka, dan tentu juga saya. Jangan tersinggung apalagi marah dalam hati. Ambil saja hikmahnya. Gratis! Satu lagi, dilarang baper![]