Press "Enter" to skip to content

Korban Mode

SETELAH kelas daring mengajar mahasiswa materi Penelitian Komunikasi pagi menjelang siang, saya melanjutkan belajar mengisi edisi #dirumahaja akibat “badai” Covid-19 yang juga bertandang ke Aceh (semoga cepat berlalu).

Saya mengikuti kelas undangan dari penulis Parodi di Harian Kompas, Mas Samuel Mulia. Kelas yang tidak biasa. Mas Sam (begitu biasa saya panggil), kali ini mengajar di kelas yang difasilitasi #CLARATalks. Kelas ini membahas “Confessions of A Fashion Victim” atau orang-orang yang menjadi korban mode.

Kelas hanya diisi 15 orang saja. Datangnya dari macam-macam kota di Indonesia, yang rata-rata sedang “membunuh” waktu dan rasa jenuh karena tidak bisa keluar rumah.

Setelah kelas usai jam tiga siang, Senin (30/3/2020), inilah beberapa insight-nya. Orang yang terus mengikuti mode, cenderung tidak puas dengan hidupnya. Ada istilah lagi, lagi dan lagi. Selalu ingin yang terbaru: selalu merasa kurang dan terus merasa tidak pantas jika tidak menggunakan barang ber-merk.

Menurut Mas Sam, banyak orang yang akhirnya tunggang-langgang keuangannya karena terus “larut” dan “terjebak” dalam arus mode yang tidak pernah selesai. Misal sudah bermerek A, ingin merek B, terus mengikuti perkembangan merek tersebut sampai akhirnya kelelahan, baik secara mental maupun dompet. Lalu apa jadinya?

Setelah itu biasanya para “korban” mode itu masuk ke arus yang paling dalam. Namanya addict atau kecanduan. Ternyata katanya, perilaku itu sama seperti orang kecanduan narkoba. Apapun jadi, asal masuk ke arus “sosialita”, pergaulan papan atas, termasuk ke lingkungan yang selalu memujanya dari apa yang ia pakai. Salah pergaulan!

Mas Sam berkisah. Ketika terjun ke dunia wartawan gaya hidup puluhan tahun lalu, saat ia tinggal sepuluhan tahun lebih di Prancis dan Milan, Italia, ia pernah masuk pada arus pergaulan, dimana setiap orang di lingkungannya dilihat dari apa yang ia pakai. Otomatis barang terkenal atau branded adalah jalan keluarnya.

Suatu ketika di Paris, ia tinggal di apartemen yang paling mewah, namanya Apartemen Rue du Faubourgh St Honore. Tidak semua orang bisa tinggal disana, saking mahalnya. Tujuannya hanya satu, agar ketika ditanya, “eh, tinggal di mana?”, bisa menyebut nama tempat itu dengan wajah tegak. Bertanda, “gue bukan orang sembarangan”.

Saat itu, Mas Sam, kerja di perusahaan mode yang menggajinya dengan cukup mahal. Ia pun bisa membeli apa yang ia mau. Suatu hari ia membeli sebuah koper kayu yang mahal keluaran Louis Vuitton – atau LV, dan akan menghadiri acara mode paling terkenal di dunia. Sebagai penulis ia hadir.

Ia tidak datang sendiri ke acara itu, tetapi bersama tiga sahabatnya. Ketika sampai di stasion kota tempat acara dan hendak memesan taxi, kedua sahabatnya tidak mau menggunakan taxi karena keuangan mereka terbatas. Mas Sam mengalah dan melanjutkan keinginan sahabatnya untuk naik angkot menuju acara itu di sebuah hotel mewah di Milan.

“Bisa dibayangkan, koper kayu yang mahal itu dipundak ku, karena teman-temannku yang berpura-pura banyak uang itu”, katanya ngakak. Naik angkot, dan aku bukan lagi terlihat seperti sosialita papan atas melainkan seperti porter di sebuah bandara, katanya lagi.

Ternyata apa yang dipakai tidak sesuai dengan kemampuan, kata Mas Sam, sambil menunjukkan koper kayu mahal itu di layar kamera kelas online kami. hehe.

Hidup ternyata nggak enak kalau sok-sokan. Baik itu sok kaya, sok pintar ataupun sok gaul, katanya ngakak lagi.

“Saya pernah beli baju kemeja pria yang mahal. Belinya di Paris dan itu keluaran edisi terbatas. Kabar buruknya adalah, saya hanya memakainya beberapa kali. Masalahnya kancingnya di belakang. Kebayang nggak kalau nggak ada orang di rumah, siapa yang mengancingnya,” ia ngakak lagi.

Hidup ini enak sederhana dan cari atau beli yang butuh saja.

Mas Sam, bilang, orang yang menjadi korban mode, jika dia bukan dari keluarga kaya, kebanyakannya adalah orang yang dendam dengan masa lalunya yang tidak menyenangkan. Bisa jadi kekurangan ataupun tidak memiliki mental yang sehat secara pemahaman kepemilikkan akan sesuatu.

Jadi, event pingin punya barang mahal, boleh saja, satu atau dua. Selebihnya tidak perlu berlebihan. Menjadi diri sendiri itu lebih asik. Asiknya apa?. Tidak menjadi orang lain, tapi menjadi diri kita sendiri, katanya.

Ia menutup kelas kami dengan kalimat yang menohok: “Orang itu, kalau melihat kita dari apa yang kita pakai, bukan orang yang menghargai kita dengan benar. Kalau benar itu, ia melihat dari kapasitas yang kita punya,” katanya.

Mode akan out meski terus jadi pusaran manusia, tapi kapasitasmu tidak akan hilang dimakan waktu. Apalagi jika tumbuh jadi pribadi yang tidak mengorbankan orang lain, tapi menjadi warna bagi orang lain.

Thank, Mas Sam! Setelah pernah bekerja membantunya di project UMKM cukup lama di tahun 2009 dan berteman yang cukup lama, saya harus bilang, Mas Sam adalah salah satu orang-sahabat terbaik yang saya punya, yang tidak pernah berhenti berbagi dan tanpa pamrih, termasuk pada ilmunya. Thank Mas, stay healty.[]