HARI masih terasa sangat muda. Kamis, 16 Desember 2010. Saya dan teman teman tiba di sebuah kecamatan yang bernama Samalanga. Perjalanan menuju Samalanga kami tempuh satu jam dari Ibukota Kabupaten Bieruen. Kami memutuskan untuk ke Samalanga, karena 70 km dari kota kecamatanya, kami ada sebuah kecamatan yang paling berat terkena dampak gempa dan gelombang tsunami, yang menghantam Nanggroe Aceh, 26 Desember 2004 yang lalu. Di wilayah yang porak poranda tersebut, kami yang tengah melakukan riset dan survey penelusuran local wisdom (kearifan lokal), dalam rangka pengembangan dan penguatan kapasitas Knowledge Management. Tak hentinnya kami tertegun melihat bukti kekuasaan Allah di muka bumi ini. Samalanga menjadi salah satu saksi bisu peringatan besar dari Allah SWT.
Setelah hampir tiga jam perjalanan saat itu, di sejumlah titik di pinggir jalan, sepi. Seperti sebuah zona perang. Teringat, ketika menonton sebuah film tentang perjuangan seorang wartawan perang dalam karya jurnalistik terbaik, Welcome to Sarajevo. Ya, sesungguhnya memang kami tengah memasuki kawasan perang, meski semestinya jalan yang kami lewati adalah jalur aman.
Sekadar gelap mungkin belumlah jadi persoalan. Namun, ditempat senyap itulah, ribuan mayat korban tsunami dikuburkan. Kengerian itu tiba-tiba saja merayap ke uluhati. Rasa mual pun tak tertahankan. Untunglah, tak sampai harus muntah-muntah. Yang pasti, perjalanan di kegelapan malam antara di Samalanga, seperti menyisakan kepedihan bagi kami.
Enam tahun sudah bencana itu berlalu. Setelah menjadi kuburan terbesar di dunia, dan rumah sakit terpanjang di dunia, Aceh seakan tak lekang dari ingatan. Setiap obrolan dan bibir yang berujar seperti tak bisa lepas dari dasyatnya gelombang raya yang menghantam Aceh. Sampai kini Aceh menjadi buah bibir. Prolog itu tak membuat saya diam dan ingin kembali mengelilingi wilayah bencana Aceh, yang juga tanah leluhur dan wilayah yang telah membesarkan kami dengan kekayaan alamnya.
Setelah menjalankan Ibadah Shalat Dhuhur Saya dan teman-teman, memasuki kawasan Pantai Lhok Samalanga, suasana menyeramkan memang tak lagi kami jumpai. Yang ada adalah pemandangan indah pantai dengan airnya yang berdebur pelan di bibir pantai. Dan di antara bibir pantai hingga beberapa meter ke daratan, kawasan itu benar-benar “bersih”. Ya, bersih, karena semua yang ada di situ tak tersisa lagi, habis tersapu gelombang dengan kekuatan dahsyat. Rumah-rumah mewah ambruk. Tiang listrik dan telpon berganti kayu-kayu kering dan panjang. Aspal jalan terangkat. Jembatan jebol. Semua rata dengan tanah.
Saat itulah, di saat saya terpaku oleh pemandangan yang “mengerikan”, tiba-tiba seorang perempuan separuh baya, mendekat. “Bang, anda bukan orang sini kan?” tanyanya. Perempuan itu bernama Aminah (50). Suami dan kelima anaknya hilang saat tsunami menghantam desa tersebut.
Semula tak ada rasa sedih ketika dia bercerita. Namun air mata tak kuasa ia tahan, wajah dan hidung khas Aceh perempuan 60 tahun itu, akirnya basah oleh airmatanya yang tumpah.
“Ya,” saya menjawab dengan ragu dan penuh selidik. Maklum saja karena sebelumnya, saya sempat bertemu dengan seorang tentara dan mengingatkan, “Anda boleh saja lihat-lihat daerah sekitar sini, tapi harus hati-hati”, begitu pesannya. “Begini Bang,” kata Ibu Aminah, “Saya penduduk asli sini. Selama saya tinggal di sini, rasanya belum pernah melihat suasana seperti ini,” katanya sambil menunjuk ke sebuah titik di kejauhan. Sekumpulan sapi berkumpul di tepi pantai yang berada di dekat sebuah bunker.
Mata saya seperti diarahkan olehnya, menuju titik yang ia tunjuk. Seperti sebuah gundukan. Lebih tepatnya sebuah bangunan lama atau sejenis bunker.
Saya hanya bisa mengangguk. Saya coba amati bangunan itu dari kejauhan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Akhirnya, sebagai bentuk jawaban atau tepatnya sekadar menyenangkan hatinya, saya ambil kamera digital di saku, lalu saya arahkan lensa ke wajah perempuan itu, kemudian kea rah bangunan yang mirip bunker itu. Memang terlalu jauh untuk focus, sehingga harus menggunakan zoom.
Bu Aminah itu pun tampak senang dengan tindakan saya. Setelah basa-basi, akhirnya ia meninggalkan kami. Saya tetap berdiri. Masih mengintai bangunan bunker itu.
Tapi, saya sendiri sebenarnya tidak yakin, apakah betul itu semacam bunker dan benteng? Saya tidak tahu. Jika pun Ibu Aminah tadi benar bahwa itu adalah bagian dari sebuah keajaiban, tampaknya itu bukan satu-satunya keajaiban yang saya lihat, karena setelah ini saya melihat begitu banyak keajaiban
***
MENELUSURI reruntuhan sisa bencana tsunami di Lhok Samalanga, , memang menggugah kesadaran, betapa dahsyatnya kekuatan gelombang yang menerjang kawasan pantai itu dan beberapa tempat lain di seantero Aceh. Bayangkan saja, sebelum tsunami datang, kawasan Lhok Samalanga adalah kawasan padat penduduk dengan jubelan rumah-rumah mewah. Di situ juga ada kawasan dan lokasi wisata yang menjadi kebanggaan penduduk setempat karena lokasinya yang memang indah menawan. Terutama dengan pemandangan pantai dan birunya laut yang sedap dipandang.
Namun, semua kebanggaan dan keindahan itu hilang musnah hanya dalam sekejap. Pantai Lhok Samalanga yang berbentuk teluk itu pun untuk beberapa saat sempat berubah menjadi “danau” dengan air yang hitam dan bergulung-gulung. Ketika air “danau” itu surut, semua yang ada di sana tak ada yang utuh. Rumah dan bangunan mewah bertumbangan hingga rata dengan tanah. Fasilitas umum seperti jalan, jembatan, dan jaringan listrik, serta telpon hancur berantakan. Sejauh mata memandang, Pantai Lhok Samalanga seperti padang pasir yang jauh membentang dengan puing-puing dan sampah berserakan.
Rumah panggung dan Kearifan Lokal
Selain rumah Ibadah yang tinggi bangunanya, di samalanga juga masih terdapat rumah panggung. Suasana berbeda langsung terlihat. Di kanan kiri jalan berjajar rumah-rumah panggung Lampung yang terlihat kokok. Rumah adat ini kini tidak mudah ditemui.
Hanya segelintir daerah yang masih memiliki Rumah Panggung. Padahal, menurut Yusrizal, salah seorang guru mengaji di kecamatan tersebut, rumah-rumah yang memiliki tiang yang tinggi (rumah panggung), menjadi salah satu tempat penyelamat bagi masyarakat yang lari menjauh dari amukan air saat tsunami, enam tahun yang lalu.
Menurutnya, rumah panggung yang terbuat dari kayu, mampu bertahan puluhan hingga ratusan tahun. Tinggi panggungnya mencapai 1,75 meter dari permukaan tanah. Luasnya menakjubkan, yaitu 300 meter persegi! Untuk membuat rumah panggung seluas ini, dibutuhkan sekitar 50 meter kubik kayu. Awalnya rumah ini sengaja berbentuk panggung untuk mencegah masuknya binatang-binatang buas.
Selain menghindari binatang buas, menurutnya, juga bisa untuk mengantipasi banjir dan air pasang dari pinggir pantai. Alasan lain membangun rumah panggung, juga Rumah karena bahan bakunya, yaitu kayu, masih mudah ditemui. Rumah-rumah ini tidak berpagar. Meski demikian, diungkapkan Yusrizal, belum pernah ada kejadian harta benda masyarakat setempat raib diambil pencuri. Masuk akal jika pencuri tidak berani beraksi di rumah-rumah panggung. Karena terbuat dari kayu, lantai di rumah panggung ini mudah berderit. Jangankan berlari, jika kita berjalan pelan, hampir pasti menimbulkan bunyi derit kayu. Ini menjadi ”sensor” alami bagi pemilik rumah untuk mengetahui pergerakan di rumah mereka.
Rumah-rumah adat ini nyatanya tidak hanya menjadi ”benteng” pertahanan adat yang kini makin tersisih, melainkan juga perlindungan dari bencana. Pada tahun 1999, saat terjadi banjir besar yang menghancurkan rumah di sana, rumah panggung justru bertahan.
Riset dan Survey yang kami lakukan, mencatat sebagian besar kearifan local yang harus terus dilakukan perkembangannya dan kesinambungannya, salah satunya adalah rumah panggung yang hamper jarang di temui di Kota-kota kecamatan yang sangat rentan dengan bencana alam.
Yang kami tahu, tsunami terjadi sebagai efek gempa tektonik berkekuatan 8,9 Skala Richter, yang kebetulan episentrumnya ada dekat Aceh, menghantam semua wilayah tersebut.
Kami tak punya kapasitas untuk menilai pendapat siapapun. Kami hanya punya keyakinan, dalam setiap bencana, Allah selalu punya tujuan. Setiap bencana memang selalu meninggalkan kerusakan, kerugian, dan duka bagi manusia. Meski kemudian, rasa duka itu bisa mendorong manusia untuk berpikir dan bertanya, mengapa sebuah bencana menimpa kita?, kemudian menjadi pemicu berpikir, mengolah pengetahuan dan membaginya.
Perjalanan itu memang melelahkan, namun, membuat pelajaran baru buat kami. Sholat Dzuhur dan Ashar kami habiskan di wilayah yang hancur tersebut, namun khusuk dan terasa nikmat. Berdo’a dihamparan luas nan damai.
Lhok Samalanga
Perjalananan saya akhiri melewati bangunan demi bangunan di beberapa wilayah lain, memasuki Kota Bieruen, sejenak berhenti di perkuburan syuhada-syuhada hilang ditelan gelombang pasang Tsunami. Mereka adalah orang yang kami cintai. Selamanya