SIAPA PUN di dunia ini, sudah pasti tak pernah menginginkan terjadinya bencana. Bencana, terutama bencana alam, akan menciptakan kesusahan dan kemusnahan yang tak tanggung-tanggung. Hal semacam ini, sudah pernah kita rasakan, ketika tsunami dan gempa bumi menerjang Aceh dan Nias, Desember 2004 lalu.
Namun, apa boleh buat. Kenyataannya, belakangan ini, bencana alam memang seolah-olah menjadi akrab dengan negeri kita, layaknya jenis barang yang dijual di pasar atau swalayan. Mungkin bisa disebutkan, Indonesia hypermaket bencana.
Mulai dari gempa, tsunami, banjir, gunung meletus dan sebagainnya datang silih berganti tanpa mengenal waktu dan tempat.
Sebuah pusat data tentang kebencanaan di Belgium,yang bernama EM-DAT (sebuah database dunia tentang bencana alam, yang mencatat lebih dari 17,000 bencana alam di dunia sejak tahun 1900 sampai sekarang, menyebutkan frekuensi kejadian dan dampak bencana di Aceh terus menerus meningkat sejak tahun 1907-2011.
Artinya, kita pun harus bisa menyikapi semua ini dengan baik dan benar. Benar dalam artian sudah sebaiknya kita menjadikan bencana tersebut sebagai “sahabat”, mengingat Aceh termasuk daerah yang memiliki kerentanan bencana paling tinggi (terancam). Mengelola kondisi Aceh yang kaya dengan pengalaman bencana dengan memanajemennya lebih baik, adalah sebuah pilihan bijak.
Menghadapi itu semua, pemerintah dan masyarakat perlu peningkatan kesiapsiagaan. Terutama peningkatan kapasitas masyarakat. Salah satunya lewat penggalian dan penyebaran pengetahuan yang telah ada.
Identifikasi dan kreasi pengetahuan baru sangat dibutuhkan untuk bisa sampai ke semua lapisan masyarakat, karena dengan upaya penyebaran pengetahuan yang yang sistematis dan terintegrasi, pengurangan risiko akan bisa tercapai perlahan-lahan
Idealnya, dari bencana-bencana yang terjadi, sudah sepantasnya kita belajar.
Sebagai bangsa kita tentulah harus bersatu dan bergandeng tangan menghadapi bencana yang datang. Selain itu, kita harus mengenal dengan jelas “perilaku” alam agar kita semua bisa mengantisipasi setiap perubahannya yang mungkin akan mengarah kepada munculnya bencana.
Lalu kita harus selalu berusaha melestarikan alam yang semakin hari semakin banyak yang dirusak oleh tangan-tangan “jahil” anak manusia. Untuk itu kita pun harus akrab dan bersahabat dengan alam.
Sederhananya, pengetahuan yang sudah kita miliki, merupakan sebuah solusi yang berguna dalam mengelola pengetahuan dan pengelaman menghadapi bencana. Mengelola di sini tidak sebatas menyimpan, namun juga menciptakan budaya pembelajaran di lingkungan lembaga melalui proses pertukaran pengetahuan.
Sehingga, akan memudahkan siapa pun melakukan pembelajaran secara mandiri dan dalam memberikan solusi bagi masalah-masalah yang dihadapinya. Dengan begitu, maka proses peningkatan pengetahuan tidak akan memakan biaya besar dan waktu yang lama.
Secara perlahan tapi pasti, budaya pembelajaran akan semakin tumbuh di lingkungan kita.
Gagasan untuk bersahabat dengan bencana bisa dilakukan dengan mengintegrasikan konsep manajemen pengetahuan dalam penerapan sistem manajemen bencana seperti membangun budaya pengurangan risiko bencana berbasis manajemen pengetahuan di tengah-tengah masyarakat.
Tuntutan mayarakat terhadap pengetahuan dan seluk beluk tentang bencana dan pengurangan risiko bencana, sudah seharusnya mendorong lembaga terkait untuk menelaah kembali proses, distribusi, promosi, dan pelayanan secara manajemen pengetahuan menjadi lebih baik, disamping itu, juga model dan fasilitas pelayanan pengetahuan yang dapat diandalkan.
Di masa yang akan datang, ini menjadi kebutuhan yang sangat penting. Pengetahuan yang merepresentasikan sebuah nilai mutu, sehingga manajemen pengetahuan benar-benar bisa menjadi unit pendukung dalam rangka menciptakan budaya untuk pengurangan risiko bencana.
Inilah yang menjadikan manajemen pengetahuan menjadi penting. Jadi yang terpenting sebenarnya bukan dukumennya atau bagaimana segalanya terdokumentasikan, tetapi lebih pada bagaimana setiap pengetahuan (dari hulu ke hilir) dapat terdokumentasikan dengan baik, sehingga ketika unit sistem sewaktu-waktu berubah, pengetahuan yang sudah terdokumentasikan dalam sebuah dokumen mutu akan menjadi panduan dalam rangka pencapaian sasran mutu yang diinginkan.
Dokumen adalah sarana atau jembatan agar pengetahuan yang terkandung di dalamnya bisa terekam dengan baik dan bisa didistribusikan kepada seluruh elemen organisasi. Dengat semangat yang tulus, jika kita bisa membuat langkah-langkah pengetahuan dan berbagi pengetahuan tersebut dengan baik, akan menjadi langkah baru, untuk menjadikan bencana menjadi sahabat, atau bersahabat dengan bencana. Jika bersahabat, layaknya manusia, kita pun jadi tahu keengganan dan kegelisahan seorang sahabat, jika pandai membacanya.
Memulai ini semua bukanlah proses yang gampang. Namun jika kita mulai menggagasnya, kenapa tidak? Insya Allah Aceh bisa menjadi model nasional dalam pengelolaan pengetahuan kebencanaan dan menjadi sumber pembelajaran pengetahuan kebencanaan. Sedikit namun berarti bagi negeri ini, juga dunia.
Pernah diterbitkan oleh Serambi Indoensia, tanggal 11 Oktober 2011.