“Abang harus siapkan waktu dan bisa ketemu mereka,” demikian adik saya Mimi membuka pembicaraan di Whatsapp.
“Siapa mereka?,” kata saya.
“Nggak spesial lah kalau diceritakan panjang,” katanya sambil disertai emoticon senyum.
Mimi seorang engineerdengan latar belakang pendidikan Master di bidang Teknik Sipil. Ia pembelajar yang ulet. Meski berprofesi sebagai teknokrat, ia sangat suka belajar pada hal-hal yang baru, seperti training penguatan kapasitas, agama, parenting, serta bisnis.
“Sebagai Ibu harus banyak belajar dong,” katanya suatu hari pada saya. Sambil mengutip ucapan referensi—Ibu adalah madrasah bagi anak-anaknya—ia pun sangat getol mencari ilmu pengetahuan dan merasa perlu untuk membantu sang suami membimbing keempat anak mereka. Saya kagum dengan caranya men-drive- sesuatu kepada anak-anak dan lingkungannya. Learnersejati.
Dulu sewaktu ia berada di jenjang sekolah SMP, ia suka mengikuti kegiatan apapun yang saya lakukan. Bahkan selalu harus sama, yang membuat mama saya selalu tertawa. Ketika saya ikut seleksi Bahana Suara Pelajar (BSP) di tahun 1992, ia pun setengah merengek kepada mama untuk didaftarkan ikut lomba juga.
Ia tidak bisa mengikuti lomba yang sama karena sekolahnya masih SD, Mama sayapun mendaftarkannya kepada jenjang lomba lain, untuk menyenangkan hatinya. Dia pembelajar dan selalu men-challenge dirinya pada yang ia yakini mampu.
Ketika saya diutus sekolah di ajang cerdas cermat, sepulang saya latihan dari sekolah, ia pun terlihat sibuk mengatur meja dan kursi ala cerdas cermat. Ada saja ide kreatifnya.
Sabtu kemarin, kami memutuskan berangkat ke lokasi tujuan. Ia mengantarkan saya bertemu sepasang suami istri yang katanya sangat spesial.
“Spesialnya kenapa,” kata saya disepanjang perjalanan.
“Saya sudah berkomunikasi dengan mereka, saya yakin Abang pasti ingin menuliskan,” katanya pada saya.
Menyetir selama nyaris 10 jam, kamipun bertemu sepasang jiwa yang adik saya sampaikan. Ia memiliki tutur kata yang baik, kepribadian yang menyenangkan, dan satu lagi mereka berprofesi sebagai guru. Sang suami bernama Sukriminsyah, berusia 30 tahun, berprofesi sebagai kepala sekolah di sebuah SD di Desa Lumut, Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah. Sementara istrinya Desri Arianti, bersusia 29 tahun, seorang guru matematika di SMP 26, Desa Reje Payung. Ia alumni IAIN Gajah Putih Program Studi Matematika.
“Bang, ini Pak Syukri,” kata adik saya, dilanjutkan memperkenalkan Ibu Guru Desi, istrinya Pak Syukri.”
Kata Pak Syukri, muridnya di SD ini 60 orang. Dia berjuang dengan luar biasa agar anak-anak didiknya bisa belajar, karena mereka tidak mungkin menjalankan pendidikan dengan mengandalkan sistem daring, karena keterbatasan fasilitas komputer dan internet.
“Jangankan belajar dengan sistem online, sebagian orang tua mereka malah ada yang tidak bisa membaca dan menulis, Pak,” kata Pak Syukri membuka obrolan.
“Selama masa pandemi Covid-19 ini, anak-anak tetap belajar dengan cara bergiliran. Mereka tidak datang ke sekolah, namun kami yang datang ke rumah mereka,” kata Pak Syukri.
Ia pun mulai berkisah. Sepanjang Senin-Jumat, mulai pukul 8-3 sore ia pun bertandang ke rumah murid-muridnya yang berjumlah 60 orang itu. Dengan tetap menjalani protokol kesehatan yang ketat, dan menyampaikan juga agar orang tua wali dan muridnya juga memaki protokol kesehatan yang ketat, Pak Syukri pun memulai menyambung kembali mata rantai pengajaran yang sempat terputus karena terdampak oleh Covid-19.
Bersama istrinya yang membantu konsep pengajaran tersebut, kedua guru ini pun menyebut kegiatan mereka sebagai Mesin Tabayun Untuk Keberlangsungan Pendidikan
“Wah, unik ya nama gerakannya,” kata saya.
Saya lalu bertanya apa motivasinya menamakan gerakan itu dengan Mesin Tabayun.
“Kami menyebut gerakan ini sebagai usaha untuk melihat secara langsung apa kendala mereka. Dengan gerakan ini saya jadi tahu, ternyata kendala murid tidak bisa efektif belajar bukan saja karena mereka tidak semangat belajar. Namun karena sebagian orang tua mereka banyak yang tidak bisa membaca, sehingga tidak tahu apa yang dihadapi anak-anak di sekolah. Ini hanya usaha sederhana,” kata Pak Syukri.
Kita harus mengambil peran kita dengan baik, Pak, kata keduanya. Dunia sedang sakit akibat Covid-19, tapi kita harus tetap kuat dan sabar untuk membangun pendidikan ini, kata mereka. Ada rasa yang berwujud semangat, ada rasa yang berdampak pada sedih dan ada pula yang menjadi pemantik untuk meneruskan banyak hal baik di masa depan. Penjelasan mereka membuat saya seperti terbangun dari tidur.
“Nah, ini yang perlu abang ketahui,” kata Mimi adik saya.
“Kadang saya merasa sedih Pak, kadang kami sering menagis bersama, membayangkan bagaimana jika mereka berhenti belajar,” kata Ibu Guru Desi diantara obrolan kami.
Ia mendukung konsep Mesin Tabayun yang dia rencanakan dengan suaminya Pak Syukri. Mendengar narasi-narasi mereka, saya seperti mendapat harapan baru bertemu dengan orang-orang yang bisa membangkitkan imunitas menjadi lebih baik. Berkenderaan menyetir ratusan kilometer dari Banda Aceh, seperti tidak terasa letihnya. Kami menuju sebuah desa kecil dimana Pak Guru Syukri dan Ibu Guru Desi berada, adalah sebuah hadiah yang mewah bagi saya.
Bersama adik perempuan saya, kami menyebut perjalannan ini dalam rangka memperluas ekspansi wilayah kebermanfaatan. Ada pepatah Afrika kuno yang mengatakan, “Dibutuhkan sebuah desa untuk membesarkan seorang anak.”
Idenya di sini adalah bahwa kaum muda perlu berinteraksi dan membangun hubungan dengan berbagai orang untuk tumbuh dewasa dan berkembang dengan baik. Saya seperti mendapatkan aplikasinya peptah itu ketika bertemu Pak Syukri dan Ibu Desi.
Pada tahap awal karirnya sebagai guru, menurut keduanya, mereka melakukan hal yang sangat penting, dialog pada diri sendiri, bahwa ada hal terpenting yang dapat mereka lakukan yaitu mendukung membangun pendidikan di desa itu.
Mereka melakukan hal-hal sederhana yang dapat membangkitkan semangat yang berdampak signifikan pada hidup dari waktu ke waktu—yang dapat mempercepat jalan menuju jalan kebermanfaatan. Bersemangat membangun dan meingkatkan visi agar mampu melampaui zona nyaman dan terus menantang diri untuk berbuat dan bermanfaat sebaik mungkin.
Sepanjang karier saya sebagai pelatih pengembangan sumber daya manusia, saya banyak melihat kesuksesan yang dibangun oleh banyak orang dalam dunia pendidikan, namun apa yang dilakukan Pak Guru Syukri dan dibantu Ibu Guru Desi istrinya sendiri, telah membuka cakrawala baru dalam benak saya.
Tidak mudah bekerja dalam keterbatasan fasilitas, jauh dari kota dan tidak selalu terkoneksi dengan teknologi. Tapi faktanya tanpa kelengkapan itu semua, guru muda ini telah mengajarkan kita cara melihat bagaimana menyederhanakan kesulitan menjadi jalan keluar yang baik.
Faktanya, ada lima hubungan yang kami yakini sebagai kunci pertumbuhan kebermanfaatan diri mereka; menghargai waktu, terus berlatih, beradaptasi dan berdoa. Tidak ada orang lain yang dengan sengaja datang mengajari kita, namun kitalah yang harus melatih diri sendiri, kata mereka berdua.
Kisah Pak Guru Syukri dan Ibu Guru Desi, mengingatkan saya pada sebua konsep anomaly. Tenyata kondisi anomaly (tidak menentu), tidak harus serta merta membuat kita patah arang. Justru berpotensi mendorong semangat makin maju muncul. Sebuah stretegi yang disajikan sepasang suami istri guru di lokasi yang jauh dari pusat kota ini, membuat mereka menemukan ide-ide tidak terduga yang dapat membalikkan asumsi lama, “Makin jauh dari kota main tidak maju”. Keduanya membuktikan hal itu tidak berlaku bagi yang punya semangat maju.
Hanya kita bersedia atau tidak melakukan gerakan positif seperti mereka. Bagaimana melihat secara dekat murid mereka dari rumah kerumah, untuk memastikan ada berlian yang tersembunyi di dalam rumah itu, yang harus dijaga dan terus dipoles agar tetap berguna dan meliliki daya juang yang tinggi. Berlian itu murid mereka.
Berlian yang sebagiannya terlahir dari orang tua yang masih belum bisa membaca. Terimakasih Pak Syukrid dan Ibu Desi. Semoga cita-cita kalian menempuh pendidikan lebih tinggi lagi mendapat perhatian dan bantuan dari pemerintah, biar mesin Tabayyun itu akan bekerja lebih cepat.
(Kolom ini tekah terbut dalam media online readers.id)