Press "Enter" to skip to content

Regulasi Penyiaran Selera Aceh

Gelisah pada mutu tayangan televisi nasional, KPID Aceh menawarkan qanun penyiaran lokal. Dikritik mengabaikan kemajemukan dan mengumbar sensor berlebihan. Kenapa DPR Aceh masih diam?. Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Aceh, awal Maret lalu, merilis Rancangan Qanun (Raqan) tentang Program dan Isi Siaran Lembaga Penyiaran di Aceh. Beberapa muatan khas yang masuk ruang lingkup pengaturan draf berisi 28 pasal itu, antara lain, penghormatan pada syariat Islam di Aceh, pedoman kesopanan dan kesusilaan, serta bab sensor.

Merujuk pada naskah akademiknya, raqan itu diposisikan sebagai implementasi wewenang yang diberikan kepada Pemerintah Aceh untuk menetapkan pengaturan tersendiri di bidang pers dan penyiaran berdasarkan nilai-nilai Islam. Wewenang itu dinyatakan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh Pasal 153 ayat (2).

Pasal itu dijadikan pilar pokok landasan yuridis raqan tersebut. Naskah akademik juga mengurai dua landasan lain, lazimnya draf regulasi: landasan filosofis dan sosiologis. Secara filosofis, butir yang banyak disorot adalah lemahnya fungsi edukasi media penyiaran dalam membentuk watak dan perilaku.

Diuraikan, tayangan televisi lebih didominasi sinetron, film, dan berita gosip bernuansa glamor dan hedonistis. “Muatan film dan sinetron penuh dengan kebohongan, intrik, khayal dan mimpi, seks, mistik, serta kekerasan,” tulis Sayid Fadhil, anggota KPID Aceh, yang menjadi ketua tim penyusun naskah akademik raqan itu.

Pada ujungnya, semua tayangan itu disimpulkan “belum mencerminkan penghormatan terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh”. Dari sisi sosiologis, aspek yang ditonjolkan adalah bahwa media penyiaran yang menggunakan ruang publik, berupa frekuensi, tidak memanfaatkan secama maksimal untuk pembelajaran publik.

“Publik tidak lagi menjadi target pemberdayaan, melainkan objek pembodohan,” papar naskah akademik itu. “Televisi hanya berlomba mengejar rating tinggi dan mengesampingkan kualitas.” Padahal, naskah akademik itu melanjutkan, televisi memiliki efek rangsangan lebih tinggi ketimbang media cetak. Segmen pemirsa yang paling rentan terpengaruh adalah anak-anak dan remaja.

“Semua itu pada akhirnya bermuara rusaknya generasi muda Aceh ke depan,” tulis Sayid Fadhil. Dikatakan, hak publik untuk mendapat informasi yang mendidik dan hiburan sehat kian terabaikan. Industri televisi dinilai lebih menonjolkan arogansi bisnis dan mengabaikan nilai lokal. “Ini jelas akan menimbulkan tabrakan nilai dan norma budaya setempat dengan budaya asing. Apalagi, Aceh melaksanakan syariat Islam,” katanya.

***

Sebagai bentuk penghormatan pada syariat Islam di Aceh, raqan itu mengurai daftar kewajiban dan larangan (Pasal 5 dan 6). Media penyiaran diwajibkan menyiarkan azan salat lima waktu, tanda buka dan imsak ketika puasa Ramadan, siaran langsung salat Jumat, serta mengisi dengan pengajian Al-Quran atau dakwah menjelang azan magrib.

Kewajiban lainnya, menghentikan siaran relai bila bertepatan dengan waktu azan. Siaran yang tidak sesuai dengan nilai Islam harus diproteksi. Penerapan syariat Islam di Aceh dan peringatan hari besar Islam wajib pula ikut disiarkan lembaga penyiaran.

Bila bukan untuk kepentingan Islam, beberapa tayangan berikut dilarang disiarkan: film, sinetron, drama, iklan, kuis, musik, kuis, dokumenter, dan lain-lain. Ketika berlangsung salat tarawih pada bulan Ramadan, dilarang menayangkan program yang bersifat interaktif.

Khusus lembaga penyiaran lokal dilarang menayangkan acara yang menjurus ke dakwah agama selain Islam. Valentine’s Day dan acara lainnya yang dipandang bertentangan dengan nilai Islam dan adat Aceh juga dilarang disiarkan.

Untuk bab kesopanan dan kesusilaan, antara lain, diatur kewajiban bagi penyiar, reporter, presenter, dan narasumber berbusana sopan atau busana Islami serta melestarikan busana tradisi Aceh. Raqan itu juga mengatur ketat program pendidikan seks bagi remaja, dengan mengedepankan muatan edukasi dan keharusan dampingan pakar.

Pada bab sensor, program non-siaran langsung diwajibkan memperoleh tanda lulus sensor dari Badan Sensor Film Daerah (Pasal 12). Antara lain film, sinetron, iklan, komedi, musik, klip video, feature, dokumenter, dan ilmu pengetahuan, baik produk lokal maupun asing. Ruang lingkup sensor ini lebih luas dari cakupan pasal sensor pada UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran, yang hanya diberlakukan pada film dan iklan (Pasal 47).

***

Raqan itu, seperti umumnya draf regulasi, mengundang pro dan kontra. Rabu 26 Mei lalu, berlangsung diskusi untuk mengupas draf tersebut di Hotel Nikko, Jakarta, dengan tajuk “Rencana Pemberlakuan Qanun Penyiaran Aceh: Masalah dan Ancaman?” Sayang, perwakilan KPID Aceh batal datang, sehingga berbagai kritik tidak langsung mendapat tanggapan.

Diskusi itu digelar Masyarakat Komunikasi dan Informasi (Maksi). Ketua Pokja Penyiaran Maksi, Ade Armando, dalam diskusi itu mengkritik bahwa raqan itu tidak menghargai kemajemukan. “Ini sebuah qanun yang menunjukkan seolah-olah Aceh itu hanya untuk Islam dan tidak menghargai prinsip NKRI,” katanya.

Ade mengakui, pada saat ini banyak konten media penyiaran yang tidak mendidik. Raqan itu bisa jadi muncul karena kekecewaan masyarakat Aceh terhadap isi siaran yang ada. “Tapi, apa harus seekstrem itu?” ujarnya.

Ade curiga, kekecewaan itu dimanfaatkan kalangan konservatif Aceh. “Barangkali ada kelompok yang sudah mengidamkan penerapan syariat secara lebih keras di Aceh, kemudian mendesak KPID agar segera mengeluarkan qanun itu,” paparnya.

Pembicara lain, Nasir Jamil, anggota DPR asal Aceh, mantan anggota Pansus RUU Pemerintahan Aceh, menjelaskan spirit Pasal 153 UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang jadi pijakan raqan itu. “Semangatnya pada waktu itu adalah memproteksi nilai-nilai atau siaran-siaran yang destruktif,” katanya.

“Ini sama dengan Pasal 36 Undang-Undang Penyiaran,” ungkapnya. Pasal itu bukan tidak menghargai keberagaman, melainkan sebagai wujud kontrol masyarakat. Pasal itu menekankan tanggung jawab moral dan misi edukasi isi siaran.

Bagi Nasir, ide dasar UU Pemerintahan Aceh sudah baik. Hanya saja, penerjemahannya dalam qanun yang perlu dikritik. “Undang-undang dibuat dengan niat baik, tapi diterjemahkan secara keliru,” tutur Nasir. Ia menilai, raqan itu tidak memperhatikan keberagaman. Ia mencontohkan kalimat “dilarang dakwah selain agama Islam”. “Lantas, bagaimana kalau agama lain? Otomatis tidak bisa,” ia menambahkan.

Nasir menyarankan agar draf itu dikoreksi. “Isinya cenderung menempatkan Islam dalam sebuah kotak kecil,” katanya. Islam seolah tidak dapat menghadapi tantangan global. “Undang-Undang Penyiaran sudah sangat Islami, walaupun tak dicantumkan kata Islam,” ungkapnya.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen Banda Aceh, Mukhtaruddin Yakob, menyorot pasal sensor yang dinilai bertentangan dengan spirit kebebasan pers dalam UU 40/1999 tentang Pers. UU Pers tidak mengenal penyensoran karya jurnalistik.

Seorang peserta diskusi, Frans Padak Demon, Direktur Voice of Amerika Jakarta, menyampaikan sudut pandang berbeda bahwa raqan itu merupakan warning bagi KPI. “Undang-Undang Penyiaran masih imponten dan KPI belum menunjukkan eksistensi,” ujarnya. “Dengan qanun itu, KPID hanya ingin melindungi warganya.”

Wakil Ketua DPR Aceh, Amir Helmi, menjelaskan bahwa raqan itu belum masuk daftar bahasan legislasi daerah tahun 2010. “Tahun 2009 sebenarnya sudah dimunculkan dalam agenda. Tapi, karena draf belum siap, akhirnya ditiadakan,” kata anggota Fraksi Demokrat itu. “Mungkin karena dianggap belum terlalu mendesak.”