SEMBILAN belas bab novel berjudul Dilarang Bercanda dengan Kenangan (DBdK) 2: Gitasmara Semesta (Republika Penerbit, 2020) karya Akmal Nasery Basral, saya baca tuntas dalam dua hari di sela-sela ibadah Ramadhan dan melakukan bakti sosial bagi masyarakat Takengon, Aceh, yang dilanda banjir besar beberapa hari lalu.
Hasilnya? Pikiran saya melayang jauh pada sebuah kembara rindu tentang kisah pertemuan hati yang tak selamanya manis-romantis, namun sarat makna bagi pembelajaran kehidupan.
Bertemu kembali dengan Jo, Aida dan Tiara, tiga jiwa yang terjebak dalam ruang rindu tak berkesudahan dalam DBdK (2018) sekaligus juga membuat pembaca menjadi saksi untuk sebuah keajaiban proses kreatif. Sebab dwilogi DBdK yang tebalnya hampir seribu halaman—untuk dua novel—semuanya berawal dari sebuah cerpen berjudul sama yang terbit di tahun 2006.
Sebuah metamorfosis karya yang unik dan (mungkin) jarang terjadi dalam dunia sastra Indonesia, sekaligus menunjukkan stamina dan konsistensi penulisnya yang mengagumkan dalam mengembangkan subplot, karakterisasi penokohan, setting lokasi, dan puncak-puncak konflik dramatik yang membawa pembaca hanyut dalam pusaran cerita.
Pada Gitasmara Semesta yang baru dirilis dalam format e-book pada pertengahan Mei 2020, dibuka dengan sebuah puisi yang sangat relijius romantik: “Lagu terindah di semesta raya itu adalah nyanyi hati merindu ilahi. Semua tahu nadanya, tak semua tekun menyempurnakannya. Berlatihlah!”
Meski begitu, saat memasuki kisah utama, pembaca akan menemukan secara perlahan kompleksitas cerita yang terus bertambah. Setting barak pengungsi tsunami di Neuheun, Aceh, yang menjadi prolog dan epilog kisah novel pertama, kembali menjadi awal pembuka sekuel kedua yang sangat fungsional.
Bagi saya yang tinggal di Banda Aceh dan juga seorang penyintas tsunami, kemampuan Akmal mendeskripsikan lokasi dan suasana barak pengungsi Neuheun—yang juga ditampilkannya dalam novel Te o Toriatte (Genggam Cinta) yang dirilis Desember 2019 dalam rangka Peringatan 15 tahun tsunami—menunjukkan bagaimana jejak kewartawanannya dalam melakukan reportase masih kental. Akmal memang pernah menjadi wartawan dua majalah berita yaitu Tempo dan Gatra sebelum memutuskan menjadi penulis penuh waktu.
Perkembangan karakter tokoh utama Jo, nama lengkapnya Johansyah Ibrahim seorang peranakan dari ayah Riau dan ibu Jawa, juga sangat logis. Jika pada novel pertama kisah dimulai dari seorang Jo “muda” berusia 23 tahun yang sedang kuliah di Leeds, Inggris, masih naif, berhati halus dan sering tidak enak jika perkataan dan tindakanya menyakiti orang lain, ternyata mendatangkan masalah tersendiri dalam hidupnya.
Hampir semua keputusan penting dalam hidupnya, termasuk menikah, ditentukan oleh orang lain. Meski tidak pernah ada maksud jahat dari pengaruh eksternal itu, namun ketidakmampuan Jo untuk memutuskan fase-fase penting dalam kehidupannya seperti saat menjalani hubungan jarak jauh dengan Tiara, yang sudah dinikahinya.
Atau ia harus bekerja dengan profesi yang sebetulnya tidak cocok dengan pendidikannya namun harus dia lakukan agar bisa satu kota dengan Tiara yang sedang kuliah di London, membuat Jo sering senewen sendiri sehingga pernikahan mereka kandas.
Kegagalan pernikahannya dengan Tiara, yang merupakan cinta pertamanya, tak membuat Jo lebih determinan dalam menentukan masa depan. Terulang lagi pengalaman perkawinannya yang kembali ditentukan oleh pihak lain dan juga berakhir dengan kepahitan serupa. Ini yang menjadi inti kisah novel pertama.
Pada sekuel Gitasmara Semesta, Jo yang berasal dari keluarga kelas menengah dengan kekerabatan sangat akrab namun awam dalam agama, akhirnya melakukan sebuah langkah terobosan yang cukup revolusioner bagi dirinya. Kini setiap pulang kantor dia tidak pulang ke rumah ibunya yang sudah menjanda, melainkan bermalam di satu pesantren di kawasan Cilodong, Depok.
Jo berkonsultasi intensif dengan kiai pimpinan pesantren dan mengikuti berbagai ibadah yang dilakukan para santri sepanjang malam. Usai Subuh berjamaah dia pulang dulu ke rumah ibunya untuk sarapan dan berangkat ke kantor. Pola ini dilakoninya berhari-hari dan membuat dirinya mulai jernih dalam melihat beragam masalah yang selama ini membuat hidupnya rumit.
Apalagi setelah Abah Nurhasan, pemimpin pesantren, memberikan tips-tips praktis yang bisa membuatnya fokus dalam menata hati sehingga tak mudah terjerumus dalam keinginan hawa nafsu yang selalu membakar keinginan seorang lelaki muda.
Ketika akhirnya Jo bisa berkomunikasi lagi dengan Aida yang bernama asli Khaleeda Jderescu, jurnalis blasteran Rumania-Kurdi, dan mereka semakin dekat bermacam problem dan kesulitan bermunculan. Konflik-konflik di masa silam antara Jo, Tiara dan Aida kembali menampakkan diri dalam bentuk berbeda dan justru lebih sengit.
Baca Juga: Dari Aceh Untuk Dunia
Kerumitan menjadi terasa disini. Sesekali penulis menghadirkan kisah rumit itu dengan “merobek-robek” hati pembacanya.
Gitasmara Semesta semakin memperlihatkan tajinya sebagai sebuah cerita: penting dibaca oleh pasangan yang baru menikah atau akan berkeluarga, namun juga enak dinikmati pasangan yang sudah lama menjalani asam garam rumah tangga. Terlihat dari kisah ini bahwa pendidikan tinggi, mobilitas intensif (sering traveling ke berbagai tempat), dan gaya kehidupan metropolis, tak otomatis menjadi jaminan bagi sebuah perkawinan yang langgeng seperti dialami Jo.
Bagusnya adalah Akmal sebagai pengarang tidak mencibir kehidupan modern masa sekarang dan mengambil sikap ekstrem dengan, misalnya, membuat Jo langsung ‘menjauhi dunia’ dan hanya berkutat pada tema-tema agama dalam kesehariannya. Jo menjalani proses “hijrah” secara bertahap dalam ikhtiar menjadi pribadi yang lebih kokoh.
Di sini beberapa ajaran Islam berfungsi sebagai pengikat yang membuat elemen-elemen cerita menjadi lebih padu layaknya semen pada sebuah bangunan. Pesan-pesan agama masuk secara proporsional, pada waktu yang pas, dan tidak menggurui, sehingga pembaca tidak seperti sedang membaca pamflet. Yang disajikan Akmal tetap sebuah story telling yang indah.
Hal lain yang mengesankan bagi saya adalah bagaimana Akmal menautkan Aceh (“Serambi Mekkah”) dengan Ka’bah (“Mekkah”, bahkan ditampilkan pada sampul novel kedua, meski sudah muncul sebagai setting sejak kisah pertama), menjadi kesatuan cerita yang solid.
Bahkan dengan dominannya setting lokasi lain, yaitu Inggris pada novel pertama, keterkaitan antara “serambi” dan “pusat” Mekkah (baca: Ka’bah) tetap tidak membuat dwilogi ini mengambil bentuk seperti kebanyakan ‘novel Islami’ yang nyinyir berkhotbah.
Bahkan pada Gitasmara Semesta pembaca akan diajak Akmal untuk berkunjung dan mengenali kota-kota lain seperti Erbil (Irak, merupakan kawasan etnis Kurdi), Brasov dan Constanta (Rumania) serta Bielefed (Jerman) dalam tenunan cerita yang sangat menarik. Keempat kota ini memiliki fungsi spesifik dan sangat unik sehingga tak bisa digantikan oleh kota-kota lain yang lebih hebat dan lebih terkenal sekali pun.
Terakhir, saya sangat berharap agar ada produser Indonesia yang tertarik memfilmkan dwilogi ini. Saya sangat yakin versi filmnya akan diminati masyarakat dan jika itu terlaksana, maka saya akan menjadi pembeli tiket film yang pertama.
*Tulisan ini telah terbit di harian Republika online pada sabtu, 23 May 2020.